Selasa, 27 Maret 2018

Mahalnya Jadi Negara Maju, Cermin Negeri Jiran

Oleh Tikwan Raya Siregar
https://wakalaindukbintan.com/

Untuk memenuhi hasrat sebagai negara maju, berapa ongkos yang harus dibayar Malaysia?

Mahal sekali!

Negara maju selalu identik dengan infrastruktur yang baik. Tapi untuk membangun infrastruktur, Malaysia memerlukan dana besar. Mereka paling tidak harus bisa mengimbangi infrastruktur negara-negara Eropa yang sudah mendapat predikat negara maju itu.

Negara maju juga diidentikkan dengan skala industri. Semua sektor ekonomi tidak bisa lagi dilakukan secara manual untuk memenuhi kebutuhan sendiri, tapi harus melalui proses industri yang mengubah bahan mentah menjadi bahan jadi. Kegiatan ekonomi di-reorganisasi menjadi kegiatan finansial, bukan lagi kegiatan sosial. Dan proses ini, lagi-lagi memerlukan start-up dan maintenance yang memerlukan modal besar.
Ketika Pemerintah Malaysia ingin membangun tanpa melibatkan utang luar negeri yang besar, bagaimana caranya ia mendapatkan dana yang diperlukan?

Ada beberapa cara:
  1. Melakukan intensifikasi pajak (memburu wajib pajak baru), dan ekstensifikasi pajak (mengarang-ngarang jenis-jenis pajak baru) untuk menambah kekuatan belanja APBN.
  2. Memanfaatkan tabungan-tabungan publik seperti asuransi, tabungan haji, jaminan sosial, dana pensiunan, dll. Bagaimana caranya menguras tabungan-tabungan publik itu? Gampang saja. Dengan menerbitkan surat utang negara. Tentu saja setiap instansi pengelola dana sangat mempertimbangkan faktor margin bunga dan jaminan keamanan. Dengan bunga yang kompetitif, maka surat utang negara tentulah sangat menarik, karena hingga saat ini penjamin yang paling dapat diandalkan masih tetap lembaga negara.
  3. Menggalakkan kredit konsumtif kepada warganya, terutama pegawai negeri dan buruh. Dengan kemudahan kredit yang dikombinasikan bersama kebijakan pemerintah, maka pemerintah dapat mengambil bagian keuntungan besar dari penghasilan bunga melalui bank-bank pelaksana milik pemerintah.
  4. Mencabut subsidi-subsidi publik dan mengalihkannya ke belanja infrastruktur, supaya jadi negara maju.
  5. Jalan terakhir adalah, dengan menerbitkan/mencetak uang baru dengan dasar atau jaminan devisa berupa utang dolar kepada pihak asing, atau membuka jalan kepada para investor untuk membangun di negerinya dengan membawa berbagai bentuk modal (terutama dolar) yang sifatnya profit.

Kelima jalan ini akan relatif menimbulkan dampak ekstra ekonomi di sektor masing-masing. Namun secara akumulatif, keseluruhannya secara konsisten menimbulkan dampak makro yang lebih ganas, yaitu semakin membanjirnya uang di pasar tanpa landasan ekonomi yang riil. Akibatnya adalah penurunan nilai tukar uang cetakan, dan menyebabkan inflasi.
Mari melihatnya satu per satu.

Pertama, peningkatan pajak di Malaysia akhirnya menjadi momok kehidupan sosial yang sangat menghimpit kelas buruh, karyawan dan pegawai negara. Investor memang diberikan paket insentif pajak yang menarik, asalkan dapat membuka lapangan kerja. Kelak, insentif pajak itu ternyata dibebankan kepada para pekerjanya. Gaji mereka berkurang banyak. Saat ini, Malaysia adalah salah satu negara dengan pembebanan pajak penghasilan tertinggi di Asia. Rakyat menanggungnya.

Kedua, penyedotan tabungan-tabungan publik ke dalam skema utang negara agar bisa digunakan sebagai modal pembangunan, telah menimbulkan kecemasan yang tinggi. Kemampuan negara untuk mengembalikan utang pokok dan bunganya mulai meragukan para ahli, terutama karena krisis ekonomi yang melanda negara itu. Untuk menutupinya, Pemerintah Malaysia terpaksa berkali-kali melakukan tindakan ekstra-ekonomi dengan cara mencetak kembali utang baru untuk menutupi utang lama (gali lobang tutup lobang).

Untunglah perjanjian utang tersebut berjadwal, sehingga tidak akan terjadi rush yang sewaktu-waktu menciptakan ledakan. Tapi penciptaan utang baru dan pencetakan uang kertas yang menyusulnya telah melemahkan nilai tukar tabungan publik secara laten. Dari segi angka terlihat tumbuh lantaran bunganya, tapi dari segi nilai tukar terus melorot. Hakikatnya, menempatkan uang di surat utang negara adalah rugi, demikian juga dengan menempatkannya di bank. Sistem ini telah membuat semua penyimpanan menimbulkan kerugian, dan tidak ada lagi tempat yang aman.
Pengusaha yang cerdas akan selalu membelanjakan uang kertasnya, dan tidak mau memegangnya lama-lama. Mereka membeli banyak tanah dan properti, emas, dan barang logam lainnya untuk menyelamatkan hartanya saja, bukan untuk mencari keuntungan. Mereka tidak peduli apakah properti itu laku atau tidak dalam waktu dekat, yang penting hartanya menjadi riil dan selamat.

Yang menanggung semua ini, lagi-lagi adalah rakyat, yaitu mereka yang berniat menabung untuk jaminan hari tua, rencana naik haji, jaminan pendidikan anak dan jaminan kesehatan. Mereka menyerahkan uangnya untuk dispekulasikan negara.

Ketiga, Pemerintah Malaysia mendorong rakyatnya mengambil kredit konsumtif untuk apa saja. Biasanya mobil, rumah dan perlengkapan rumah tangga. Program ini sangat berhasil di Malaysia. Apa yang tampak dimiliki rakyat Malaysia hari ini kebanyakan adalah utang. Dan untuk itu mereka harus menanggung bunga kredit yang hampir menguras seluruh penghasilan mereka.

Program berutang ini pun mulai lebih disegerakan. Baru saja kuliah, para mahasiswa sudah diajak mengambil kredit pendidikan. Kredit ini baru akan lunas 5 sampai 10 tahun selepas tamat kuliah, dengan catatan cicilannya lancar. Apabila menunggak atau macet, maka mereka akan dicekal di bandara dan tidak dibolehkan keluar negeri, atau aplikasi paspornya tidak dikabulkan. Bank, korporasi dan negara sudah melakukan kerjasama yang apik untuk ini. Untuk kredit pegawai negara dan karyawan swasta, instansi dan perusahaan melakukan potong gaji langsung untuk cicilan kredit dan pajak.

Tentu saja, bank pelaksana milik pemerintah memiliki porsi terbesar untuk captive market ini, sehingga mereka dapat menarik keuntungan raksasa untuk memperkuat pendapatan negara. Besarnya angka kredit penjualan mobil belakangan membuat Pemerintah Malaysia terpikat untuk bermain juga di sektor manufaktur mobil melalui proyek mobil nasional: Proton. Dengan cara ini, pemerintah tidak hanya menarik bunga kredit, tapi juga keuntungan dari produksi mobil nasional.

Keempat, mencabut satu per satu subsidi harga barang strategis kebutuhan publik agar dananya bisa dialihkan untuk proyek infrastruktur. Hal ini antara lain menyebabkan harga BBM, listrik, air dan obat-obatan di Malaysia mulai mahal dan membebani kehidupan masyarakat, terutama kelas pekerja, karena kenaikan harga itu tidak diimbangi dengan kenaikan gaji mereka. Implikasi lanjutan dari kebijakan ini adalah ancaman instabilitas politik.

Pada saat yang sama, inflasi turut memperburuk keadaan karena harga-harga sembako pun ikut naik, yang kesemuanya menyedot penghasilan kelas pekerja itu. Secara internasional, kurs ringgit juga tergerus ke angka yang tidak terbayangkan sebelumnya. Belanja impor menjadi mahal, demikian juga belanja negara. APBN tertekan. Satu-satunya harapan adalah investasi asing, sehingga posisi tawar pemerintah kepada calon investor begitu rendah. Inilah awalnya bagaimana investor dapat mendikte pemerintah melalui berbagai perjanjian yang merugikan rakyat.

Kelima, apabila sudah sangat terdesak, sementara kewajiban harus ditunaikan, maka Pemerintah dihadapkan pada dua pilihan. Membiarkan proyek pembangunan mangkrak, atau mengambil utang baru dan mencetak uang baru. Proyek yang mangkrak mengancam pengurangan daya serap tenaga kerja, sedangkan utang dan pencetakan uang baru akan menciptakan inflasi lebih tinggi dan menjadi tanggung renteng seluruh warga negara, terutama orang miskin. Kualitas hidup akan merosot.

Namun pada beberapa pertimbangan, pilihan kedua ini terlihat lebih aman karena masyarakat tidak sadar nilai uangnya dirampok. Paling-paling mereka hanya mengeluh, harga-harga kok naik. Sedangkan bila membiarkan proyek mangkrak, para penganggur atau korban PHK akan merasakan akibat langsung dan telak. Pilihan membuat utang baru juga lebih aman secara politik lima tahunan. Bukankah yang menanggung akibat utang ini kelak adalah pemerintahan selanjutnya? Maka dibuatlah defisit anggaran.

Kini, warga Malaysia harus bekerja lebih keras dan lebih keras dari sebelumnya. Tugas pokok mereka adalah memburu ringgit, saban hari. Jam kerja diperpanjang. Jam cuti diperpendek. Mereka kian terbirit-birit, tak bisa sering bercanda lagi seperti sifat aslinya. Time is money. Riba urusan kedua, ketiga, hingga tak perlu dipikirkan lagi.
Begitulah caranya mereka mendapatkan sertifikat gantung “negara maju” hari ini. Kita harus menghibur hati mereka dengan mengakui predikat itu.
Bagi kita sendiri, pengalaman Malaysia itu dapat dijadikan cermin yang paling dekat. Yaitu sebuah cermin yang dapat menciptakan kelas borjuasi yang mempekerjakan kelas politisi, dan akhirnya memeras kelas awam. Kemajuan yang ingin mereka capai adalah hubbud dunya yang fatamorganik. Kalau negara-negara Eropa memang jadi contoh negara maju, mengapa mereka malah bangkrut?

Nah, apakah kita akan memilih jalan itu, atau setia pada tujuan kita sendiri? Perlukah sertifikat negara maju itu bagi kita? Apakah hidup kita hanya sekadar “kerja, kerja, kerja?” Sedangkan apa yang kita dapatkan adalah upah yang makin kecil, utang yang makin banyak, dan kehidupan yang makin terbirit-birit?