Artikel ini dikutip dari sebuah artikel blog yang
ditulis oleh Bapak Teguh Hidayat
Sepanjang tahun 2014 lalu, seperti yang anda ketahui, IHSG naik cukup signifikan
yakni 22.3%. Berdasarkan statistik BEI di hari perdagangan terakhir di tahun
2014, dua sektor yang menjadi pendorong utama kenaikan IHSG adalah sektor
properti dan konstruksi dengan kenaikan 55.8%, dan jasa finansial (perbankan,
asuransi, dan pembiayaan) sebesar 35.4%. Kenaikan yang tinggi di sektor
properti dan konstruksi, terutama konstruksi, salah satunya karena didorong
oleh optimisme investor bahwa Pemerintahan yang baru dibawah presiden Jokowi
akan fokus pada pembangunan infrastruktur, dimana perusahaan-perusahaan
konstruksi akan diuntungkan. Dan karena pembangunan infrastruktur tersebut
dikatakan akan fokus pada sektor maritim, maka jadilah saham-saham perkapalan,
pelabuhan, hingga perikanan turut terkena sentimen positif. Jika semuanya lancar,
maka Indonesia akan menjadi salah satu ‘poros maritim dunia’ dalam beberapa
tahun kedepan.
Dan sayangnya, kalau kita balik lagi ke kondisi perekonomian nasional pada saat
ini, maka Indonesia sejatinya sedang dalam kondisi yang tidak terlalu
baik. Jumat kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data neraca ekspor
impor untuk periode Januari – November 2014, dan datanya menunjukkan bahwa
neraca perdagangan kita masih defisit (impor lebih besar dibanding
ekspor) sebesar US$ 2.1 milyar. Defisit yang terjadi terus menerus sejak tahun
2012 turut menekan pertumbuhan ekonomi nasional hingga ke level 5.0% pada
Kuartal III 2014, atau level terendah dalam lima tahun terakhir. Data
inflasi juga tampak tidak terlalu bagus, dimana sepanjang tahun 2014 angkanya
tercatat 8.4%, atau jauh diatas target Bank Indonesia (BI) sebesar 4.5%. Karena
itulah, meski ada banyak pihak yang menyatakan bahwa pelemahan Rupiah hingga ke
posisi Rp12,474 per US Dollar adalah lebih karena penguatan mata uang US Dollar
itu sendiri, terbukti yang melemah gak cuma Rupiah melainkan hampir seluruh
mata uang negara lainnya juga turut melemah, namun faktor lainnya yang juga
harus diperhatikan adalah fundamental perekonomian Indonesia yang memang,
seperti yang sudah disebut diatas, sedang tidak terlalu bagus.
Kalau penulis perhatikan, kondisi ini masih merupakan buntut dari pelemahan
harga komoditas, terutama batubara, crude palm oil (CPO),
dan karet yang terjadi sejak 2012 lalu sampai sekarang. Meski Warren
Buffett sendiri seringkali mengabaikan data makroekonomi seperti ini dan lebih
fokus pada fundamental perusahaan, namun mau tidak mau hal ini tetap menjadi concern
penulis, karena itu artinya terdapat gap yang cukup lebar antara
posisi IHSG pada saat ini dengan fakta ekonomi di lapangan. Kalau anda mau
jujur, anda juga harus mengakui bahwa kenaikan saham-saham konstruksi,
perkapalan hingga perikanan sepanjang 2014 lalu, rata-rata lebih didorong oleh
‘prospek kedepan’ ketimbang fundamental riil mereka bukan?
Kondisi perekonomian Indonesia yang tergantung pada fluktuasi harga-harga
komoditas di pasar internasional ini, mengingatkan penulis dengan negara Qatar.
Kalau anda rajin baca-baca tentang ekonomi makro (di Wikipedia banyak kok),
anda akan mengetahui bahwa Qatar adalah negara paling makmur di dunia, dengan
GDP per kapita sebesar US$ 146 ribu pada tahun 2013, atau paling tinggi
dibanding negara lain manapun. Qatar bisa menjadi negara dengan GDP sebesar
itu, karena mereka memiliki salah satu cadangan gas alam (natural gas)
terbesar di dunia, dimana sektor gas alam dan minyak menyumbang lebih dari 60%
GDP di Qatar. Karena penduduk di Qatar cuma sedikit, maka jadilah GDP per
kapita mereka menjadi sangat besar. Kondisi ini juga mirip dengan negara Brunei
Darussalam, yang juga merupakan salah satu negara dengan GDP per kapita
tertinggi di dunia, karena mereka punya stok minyak dan gas alam yang melimpah
untuk diekspor, sementara disisi lain jumlah penduduknya tidak begitu banyak.
However, baik Pemerintah Qatar maupun Brunei sejak awal sudah sadar bahwa
mereka tidak bisa sepenuhnya menggantungkan diri pada ekspor minyak dan gas,
karena kalau begitu caranya maka pertumbuhan ekonomi mereka akan dengan mudah
diombang ambing oleh fluktuasi dari harga minyak dan gas itu sendiri di pasar
internasional. Karena itulah, sejak tahun 1983, Pemerintah Brunei mendirikan Brunei
Investment Agency (BIA), yakni sebuah badan dibawah Kementerian Keuangan
Brunei, yang secara khusus bertugas untuk menginvestasikan kembali dana
surplus yang dihasilkan dari ekspor migas, sehingga dana tersebut tidak
menguap sia-sia melainkan menjadi aset yang menghasilkan tambahan
pendapatan bagi negara dan juga perekonomian Brunei secara keseluruhan. BIA
kemudian menempatkan investasi pada beragam aset, seperti Dolchester
Collection, Beverly Hills Hotel, Grand Hyatt Singapore Hotel, Paterson
Securities (di Australia), Bahagia Investment Corp (di Malaysia), dan
seterusnya.
Sementara di Qatar, pemerintah setempat baru mendirikan Qatar Investment
Authority (QIA) pada tahun 2005, dengan tujuan yang juga sama dengan BIA:
Menginvestasikan kembali dana surplus yang dihasilkan dari ekspor migas. Meski
masih relatif baru, QIA malah justru lebih agresif dalam berinvestasi dimana
mereka membeli saham-saham, baik minoritas maupun mayoritas, dari perusahaan-perusahaan
paling terkenal di dunia, seperti Barclays, Fisker, Volkswagen Group, Harrods
Group, Sainsbury’s, Miramax Films, Credit Suisse, Royal Dutch Shell, hingga
klub sepakbola Paris Saint Germain.
Dengan kepemilikan dana yang sepertinya tidak terbatas,
baru-baru ini QIA juga menginvestasikan US$ 5 milyar untuk membangun fasilitas
petrokimia di Malaysia, dan US$ 10 milyar untuk investasi di berbagai sektor
ekonomi di Tiongkok (dengan bekerja sama dengan CITIC Group sebagai fund
manager-nya).
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Meski Indonesia memiliki cadangan sumber daya alam yang melimpah mulai dari
minyak dan gas, emas, nikel, batubara, hingga CPO dan karet, namun kebanyakan
dari sumber daya alam tersebut dikuasai oleh swasta, baik itu asing maupun
domestik, dan bukannya Pemerintah, dan ini berbeda dengan Pemerintah Brunei dan
Qatar yang memiliki kendali penuh atas hampir seluruh cadangan migas mereka.
Alhasil ketika harga-harga komoditas sedang naik, maka yang menikmatinya hanya
pihak-pihak tertentu seperti para konglomerat pemilik tambang batubara, dan
bukannya warga negara secara keseluruhan. Itu sebabnya meski ekonomi kita
tumbuh signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini, namun pertumbuhan tersebut
terjadi dengan sangat tidak merata, dimana beberapa orang kaya di
perkotaan bisa menjadi tambah kaya, tapi orang-orang yang miskin di
kampung-kampung tetap saja miskin.
Problemnya adalah, jika para konglomerat ini lebih memilih untuk menarik dana
hasil surplus mereka dari ekspor batubara dll keluar Indonesia (seperti yang
dilakukan Banpu
melalui ITMG), maka ya jadinya kita nggak dapet apa-apa. Tapi ketika gilirannya
harga-harga komoditas ini turun, maka perekonomian kita tetap terkena
dampaknya. Pemerintah Indonesia sebenarnya bukan tanpa kendali sama sekali
terhadap natural resources, karena mereka masih menguasai minyak melalui Pertamina,
batubara melalui Bukit Asam
(PTBA), dan perkebunan kelapa sawit dan karet melalui PT Perkebunan
Nusantara (PTPN). Tapi yah, seberapa besar sih kekuasaan Pertamina atas
cadangan minyak di seluruh Indonesia? SKK Migas sejauh ini kerjanya ngapain
aja? Termasuk PTBA, coba deh, bisa nggak mereka ambil alih Kaltim Prima Coal
(KPC) dari tangan Bumi
Resources (BUMI)?
However, kinerja yang tidak terlalu bagus yang ditunjukkan oleh BUMN-BUMN di
bidang natural resources diatas, mungkin itu karena kurangnya support dari
Pemerintah juga, dimana DPR kerjaannya cuma minta setoran dividen aja tiap
tahun, atau minta jatah kursi komisaris dengan gaji Rp50 juta per bulan padahal
kerjaannya cuma datang rapat nggak jelas setahun sekali.
At the end, baik itu pemerintah Qatar maupun Brunei, mereka bisa memiliki
kendali penuh atas natural resources-nya, karena ketegasan sang Emir dan
Sultan dalam mengatakan, ‘all of these natural resources are belong to our
people, and not certain individual or corporations!’. Dalam mengelola
migas-nya, pemerintah Brunei sejatinya tidak sendirian melainkan bekerja sama
dengan Shell, dan Pemerintah Qatar juga harus bekerja sama dengan ExxonMobil,
Total, Mitsui, dan Marubeni. However, sebagai tuan rumah, Pemerintah Brunei dan
Qatar sama-sama dalam posisi majority shareholders dari perusahaan
minyak yang didirikan, sehingga mereka memiliki kendali atas
perusahaan-perusahaan minyak global tersebut, dan bukannya sebaliknya.
Kemudian bagaimana dengan Pemerintah Indonesia?
ketika bagaimana Pemerintah bisa dengan gampangnya
mencabut subsidi BBM dan mengeksekusi keputusan penting lainnya tanpa perlu
lagi bagi-bagi jatah jabatan dengan para orang-orang di DPR seperti yang dulu
selalu dilakukan Presiden SBY, maka terdapat harapan yang besar bahwa Indonesia
kini memiliki pemerintahan yang efektif, yang bisa dengan tegas
mengatakan kepada individu maupun korporasi tertentu, baik asing maupun lokal,
bahwa, ‘bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara, dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat!’. Penulis
berharap bahwa, meski tentunya memerlukan kerja keras dan waktu yang tidak
sebentar, namun suatu hari nanti Pemerintah RI pada akhirnya memiliki cukup
kendali atas cadangan natural resources di Indonesia, entah itu melalui
BUMN atau badan-badan yang secara khusus dibentuk untuk mengelola natural
resources tersebut.
Kemudian, setelah memastikan bahwa hasil sumber daya alam kita nggak diangkut
kemana-mana melainkan balik lagi ke bumi Indonesia, maka Pemerintah juga
mendirikan satu badan khusus, mungkin dengan nama Indonesia Investment
Authorities atau semacamnya, yang bertugas untuk menginvestasikan kembali
hasil surplus dari natural resources (atau dari manapun), ke aset-aset yang
produktif. Dengan cara inilah, meski tentunya akan membutuhkan waktu yang
tidak sebentar, maka suatu hari nanti pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tidak
lagi tergantung pada fluktuasi harga komoditas, karena kita juga punya alternative
income dalam bentuk dividen ataupun profit sharing dari
investasi-investasi yang sudah ditanamkan sebelumnya, dimana income ini
langsung masuk ke kas negara dan bisa dialokasikan untuk APBN.
Kalau boleh jujur, jika mampu dikelola dengan
serius, maka Indonesia Investment Authorities ini sebenarnya bisa juga langsung
didirikan untuk kemudian beroperasi tanpa perlu menunggu support dana yang
dihasilkan dari surplus natural resources. Sejak tahun 1974 lalu, atau kurang
dari sepuluh tahun sejak negaranya merdeka, Pemerintah Singapura sudah
mendirikan Temasek Holdings, sebuah perusahaan investasi yang kerjaannya
menginvestasikan sejumlah dana yang sejak awal memang sudah dialokasikan oleh
Pemerintah untuk diinvestasikan, tanpa perlu menunggu surplus dari hasil ekspor
natural resources atau lainnya, karena memang Singapura nggak punya natural resources
sama sekali. Dan setelah 40 tahun, pada saat ini Temasek merupakan salah satu
perusahaan konglomerasi terbesar di dunia dengan total aset US$ 317 milyar pada
akhir tahun 2013. Untuk tahun fiskal 2013, Temasek menghasilkan laba bersih US$
10.6 milyar, yang kesemuanya menjadi milik Kementerian Keuangan Republik
Singapura sebagai pemegang 100% sahamnya. Untuk state budget, Pemerintah
Singapura juga secara rutin menarik dividen dari Temasek dengan nilai sesuai
kebutuhan.
Kesimpulan
Karena negaranya tidak memiliki natural resources,
maka nilai dana kelolaan yang dipegang Temasek sebenarnya relatif terbatas,
sehingga kontribusinya terhadap perekonomian Singapura secara keseluruhan tidak
terlalu signifikan, dan ini berbeda dengan BIA milik Brunei ataupun QIA milik
Qatar, yang kinerja mereka dalam berinvestasi cukup berpengaruh terhadap
perekonomian nasional.
Sementara posisi Indonesia lebih mirip dengan
Brunei dan Qatar ketimbang Singapura, dalam hal kepemilikan sumber daya alamnya
yang melimpah. However, jika Pemerintah kesulitan dalam mengambil alih semua
aset natural resources yang tersebar di seluruh Indonesia (karena memang
tidak semudah itu), maka paling tidak bisa dibuat beberapa formula atau
peraturan yang memungkinkan Pemerintah memperoleh bagian lebih dari natural
resources yang dihasilkan perusahaan-perusahaan. Contohnya, diluar pajak yang
dibayar perusahaan, Pemerintah sudah menerima royalti dari batubara, bea keluar
dari ekspor CPO, dan juga royalti dari tambang emas milik Freeport dan Newmont.
Jika Pemerintah mampu bernegosiasi dengan pihak korporasi, maka nilai dari
royalti dan bea keluar tersebut bisa dinaikkan sekian persen, katakanlah dengan
menyesuaikan dengan harga komoditas di pasar internasonal (jadi kalau harga
batubara naik, royaltinya ikut naik, kalau turun ya ikut turun).
Dana yang diperoleh kemudian dikumpulkan dalam satu
wadah, katakanlah dengan nama Indonesia Natural Resource Fund, untuk
kemudian jangan digunakan untuk apa-apa kecuali untuk investasi, dalam
hal ini investasi di dalam negeri untuk membangun infrastruktur pelabuhan,
pembangkit listrik dll. Selain itu, diluar dana yang dikelola sendiri oleh
negara, Pemerintah juga bisa mengeluarkan peraturan yang mengharuskan
korporasi-korporasi tambang dan lainnya untuk menggunakan perolehan laba yang
besar termasuk ketika harga batubara sedang tinggi-tingginya, untuk
diinvestasikan disini ketimbang dibawa kabur keluar negeri.
Sebab, sebagai mana yang kita ketahui pertumbuhan
ekonomi didorong oleh empat komponen yakni konsumsi, investasi, belanja
negara, dan ekspor, dan ditekan oleh satu komponen, yakni impor.
Jadi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, ada banyak upaya yang bisa
dilakukan selain dengan terus mendorong ekspor dan menekan impor, yakni juga
dengan mendorong investasi di dalam negeri, atau boleh juga investasi
diluar negeri selama dana yang diinvestasikan adalah milik Pemerintah atau
pihak swasta domestik (sehingga keuntungan hasil investasinya akan tetap balik
lagi ke Indonesia). Ketika harga-harga komoditas sedang naik, maka tidak hanya
ekspor Indonesia yang meningkat namun surplus/cadamham dana yang bisa digunakan
untuk investasi, baik oleh Pemerintah maupun swasta, juga turut meningkat. Dan
ketika harga-harga komoditas sedang turun, maka penurunan nilai ekspor akan
dikompensasi dengan peningkatan investasi, dimana dananya sudah 'ditabung'
hasil dari tingginya nilai ekspor ketika harga-harga komoditas sedang tinggi.
Dengan cara inilah, yakni menyimpan/menabung kelebihan
dana ketika lagi banyak duit dalam bentuk investasi, dan menggunakannya nanti
ketika lagi susah (untuk konsumsi, belanja negara dalam bentuk subsidi, dll),
maka ekonomi Indonesia akan bisa tumbuh secara stabil tanpa perlu lagi
bergantung pada fluktuasi harga komoditas di pasar internasional.