Sabtu, 03 Januari 2015

INDONESIA ADIL DAN SEJAHTERA, mungkinkah??

Artikel ini dikutip dari sebuah artikel blog yang ditulis oleh Bapak Teguh Hidayat 

Sepanjang tahun 2014 lalu, seperti yang anda ketahui, IHSG naik cukup signifikan yakni 22.3%. Berdasarkan statistik BEI di hari perdagangan terakhir di tahun 2014, dua sektor yang menjadi pendorong utama kenaikan IHSG adalah sektor properti dan konstruksi dengan kenaikan 55.8%, dan jasa finansial (perbankan, asuransi, dan pembiayaan) sebesar 35.4%. Kenaikan yang tinggi di sektor properti dan konstruksi, terutama konstruksi, salah satunya karena didorong oleh optimisme investor bahwa Pemerintahan yang baru dibawah presiden Jokowi akan fokus pada pembangunan infrastruktur, dimana perusahaan-perusahaan konstruksi akan diuntungkan. Dan karena pembangunan infrastruktur tersebut dikatakan akan fokus pada sektor maritim, maka jadilah saham-saham perkapalan, pelabuhan, hingga perikanan turut terkena sentimen positif. Jika semuanya lancar, maka Indonesia akan menjadi salah satu ‘poros maritim dunia’ dalam beberapa tahun kedepan.

Dan sayangnya, kalau kita balik lagi ke kondisi perekonomian nasional pada saat ini, maka Indonesia sejatinya sedang dalam kondisi yang tidak terlalu baik. Jumat kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data neraca ekspor impor untuk periode Januari – November 2014, dan datanya menunjukkan bahwa neraca perdagangan kita masih defisit (impor lebih besar dibanding ekspor) sebesar US$ 2.1 milyar. Defisit yang terjadi terus menerus sejak tahun 2012 turut menekan pertumbuhan ekonomi nasional hingga ke level 5.0% pada Kuartal III 2014, atau level terendah dalam lima tahun terakhir. Data inflasi juga tampak tidak terlalu bagus, dimana sepanjang tahun 2014 angkanya tercatat 8.4%, atau jauh diatas target Bank Indonesia (BI) sebesar 4.5%. Karena itulah, meski ada banyak pihak yang menyatakan bahwa pelemahan Rupiah hingga ke posisi Rp12,474 per US Dollar adalah lebih karena penguatan mata uang US Dollar itu sendiri, terbukti yang melemah gak cuma Rupiah melainkan hampir seluruh mata uang negara lainnya juga turut melemah, namun faktor lainnya yang juga harus diperhatikan adalah fundamental perekonomian Indonesia yang memang, seperti yang sudah disebut diatas, sedang tidak terlalu bagus.

Kalau penulis perhatikan, kondisi ini masih merupakan buntut dari pelemahan harga komoditas, terutama batubara, crude palm oil (CPO), dan karet yang terjadi sejak 2012 lalu sampai sekarang. Meski Warren Buffett sendiri seringkali mengabaikan data makroekonomi seperti ini dan lebih fokus pada fundamental perusahaan, namun mau tidak mau hal ini tetap menjadi concern penulis, karena itu artinya terdapat gap yang cukup lebar antara posisi IHSG pada saat ini dengan fakta ekonomi di lapangan. Kalau anda mau jujur, anda juga harus mengakui bahwa kenaikan saham-saham konstruksi, perkapalan hingga perikanan sepanjang 2014 lalu, rata-rata lebih didorong oleh ‘prospek kedepan’ ketimbang fundamental riil mereka bukan?

Kondisi perekonomian Indonesia yang tergantung pada fluktuasi harga-harga komoditas di pasar internasional ini, mengingatkan penulis dengan negara Qatar. Kalau anda rajin baca-baca tentang ekonomi makro (di Wikipedia banyak kok), anda akan mengetahui bahwa Qatar adalah negara paling makmur di dunia, dengan GDP per kapita sebesar US$ 146 ribu pada tahun 2013, atau paling tinggi dibanding negara lain manapun. Qatar bisa menjadi negara dengan GDP sebesar itu, karena mereka memiliki salah satu cadangan gas alam (natural gas) terbesar di dunia, dimana sektor gas alam dan minyak menyumbang lebih dari 60% GDP di Qatar. Karena penduduk di Qatar cuma sedikit, maka jadilah GDP per kapita mereka menjadi sangat besar. Kondisi ini juga mirip dengan negara Brunei Darussalam, yang juga merupakan salah satu negara dengan GDP per kapita tertinggi di dunia, karena mereka punya stok minyak dan gas alam yang melimpah untuk diekspor, sementara disisi lain jumlah penduduknya tidak begitu banyak.

However, baik Pemerintah Qatar maupun Brunei sejak awal sudah sadar bahwa mereka tidak bisa sepenuhnya menggantungkan diri pada ekspor minyak dan gas, karena kalau begitu caranya maka pertumbuhan ekonomi mereka akan dengan mudah diombang ambing oleh fluktuasi dari harga minyak dan gas itu sendiri di pasar internasional. Karena itulah, sejak tahun 1983, Pemerintah Brunei mendirikan Brunei Investment Agency (BIA), yakni sebuah badan dibawah Kementerian Keuangan Brunei, yang secara khusus bertugas untuk menginvestasikan kembali dana surplus yang dihasilkan dari ekspor migas, sehingga dana tersebut tidak menguap sia-sia melainkan menjadi aset yang menghasilkan tambahan pendapatan bagi negara dan juga perekonomian Brunei secara keseluruhan. BIA kemudian menempatkan investasi pada beragam aset, seperti Dolchester Collection, Beverly Hills Hotel, Grand Hyatt Singapore Hotel, Paterson Securities (di Australia), Bahagia Investment Corp (di Malaysia), dan seterusnya.

Sementara di Qatar, pemerintah setempat baru mendirikan Qatar Investment Authority (QIA) pada tahun 2005, dengan tujuan yang juga sama dengan BIA: Menginvestasikan kembali dana surplus yang dihasilkan dari ekspor migas. Meski masih relatif baru, QIA malah justru lebih agresif dalam berinvestasi dimana mereka membeli saham-saham, baik minoritas maupun mayoritas, dari perusahaan-perusahaan paling terkenal di dunia, seperti Barclays, Fisker, Volkswagen Group, Harrods Group, Sainsbury’s, Miramax Films, Credit Suisse, Royal Dutch Shell, hingga klub sepakbola Paris Saint Germain. 

Dengan kepemilikan dana yang sepertinya tidak terbatas, baru-baru ini QIA juga menginvestasikan US$ 5 milyar untuk membangun fasilitas petrokimia di Malaysia, dan US$ 10 milyar untuk investasi di berbagai sektor ekonomi di Tiongkok (dengan bekerja sama dengan CITIC Group sebagai fund manager-nya).

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Meski Indonesia memiliki cadangan sumber daya alam yang melimpah mulai dari minyak dan gas, emas, nikel, batubara, hingga CPO dan karet, namun kebanyakan dari sumber daya alam tersebut dikuasai oleh swasta, baik itu asing maupun domestik, dan bukannya Pemerintah, dan ini berbeda dengan Pemerintah Brunei dan Qatar yang memiliki kendali penuh atas hampir seluruh cadangan migas mereka. Alhasil ketika harga-harga komoditas sedang naik, maka yang menikmatinya hanya pihak-pihak tertentu seperti para konglomerat pemilik tambang batubara, dan bukannya warga negara secara keseluruhan. Itu sebabnya meski ekonomi kita tumbuh signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini, namun pertumbuhan tersebut terjadi dengan sangat tidak merata, dimana beberapa orang kaya di perkotaan bisa menjadi tambah kaya, tapi orang-orang yang miskin di kampung-kampung tetap saja miskin.

Problemnya adalah, jika para konglomerat ini lebih memilih untuk menarik dana hasil surplus mereka dari ekspor batubara dll keluar Indonesia (seperti yang dilakukan Banpu melalui ITMG), maka ya jadinya kita nggak dapet apa-apa. Tapi ketika gilirannya harga-harga komoditas ini turun, maka perekonomian kita tetap terkena dampaknya. Pemerintah Indonesia sebenarnya bukan tanpa kendali sama sekali terhadap natural resources, karena mereka masih menguasai minyak melalui Pertamina, batubara melalui Bukit Asam (PTBA), dan perkebunan kelapa sawit dan karet melalui PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Tapi yah, seberapa besar sih kekuasaan Pertamina atas cadangan minyak di seluruh Indonesia? SKK Migas sejauh ini kerjanya ngapain aja? Termasuk PTBA, coba deh, bisa nggak mereka ambil alih Kaltim Prima Coal (KPC) dari tangan Bumi Resources (BUMI)?

However, kinerja yang tidak terlalu bagus yang ditunjukkan oleh BUMN-BUMN di bidang natural resources diatas, mungkin itu karena kurangnya support dari Pemerintah juga, dimana DPR kerjaannya cuma minta setoran dividen aja tiap tahun, atau minta jatah kursi komisaris dengan gaji Rp50 juta per bulan padahal kerjaannya cuma datang rapat nggak jelas setahun sekali. 

At the end, baik itu pemerintah Qatar maupun Brunei, mereka bisa memiliki kendali penuh atas natural resources-nya, karena ketegasan sang Emir dan Sultan dalam mengatakan, ‘all of these natural resources are belong to our people, and not certain individual or corporations!’. Dalam mengelola migas-nya, pemerintah Brunei sejatinya tidak sendirian melainkan bekerja sama dengan Shell, dan Pemerintah Qatar juga harus bekerja sama dengan ExxonMobil, Total, Mitsui, dan Marubeni. However, sebagai tuan rumah, Pemerintah Brunei dan Qatar sama-sama dalam posisi majority shareholders dari perusahaan minyak yang didirikan, sehingga mereka memiliki kendali atas perusahaan-perusahaan minyak global tersebut, dan bukannya sebaliknya.

Kemudian bagaimana dengan Pemerintah Indonesia?

ketika bagaimana Pemerintah bisa dengan gampangnya mencabut subsidi BBM dan mengeksekusi keputusan penting lainnya tanpa perlu lagi bagi-bagi jatah jabatan dengan para orang-orang di DPR seperti yang dulu selalu dilakukan Presiden SBY, maka terdapat harapan yang besar bahwa Indonesia kini memiliki pemerintahan yang efektif, yang bisa dengan tegas mengatakan kepada individu maupun korporasi tertentu, baik asing maupun lokal, bahwa, ‘bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat!’. Penulis berharap bahwa, meski tentunya memerlukan kerja keras dan waktu yang tidak sebentar, namun suatu hari nanti Pemerintah RI pada akhirnya memiliki cukup kendali atas cadangan natural resources di Indonesia, entah itu melalui BUMN atau badan-badan yang secara khusus dibentuk untuk mengelola natural resources tersebut.

Kemudian, setelah memastikan bahwa hasil sumber daya alam kita nggak diangkut kemana-mana melainkan balik lagi ke bumi Indonesia, maka Pemerintah juga mendirikan satu badan khusus, mungkin dengan nama Indonesia Investment Authorities atau semacamnya, yang bertugas untuk menginvestasikan kembali hasil surplus dari natural resources (atau dari manapun), ke aset-aset yang produktif. Dengan cara inilah, meski tentunya akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar, maka suatu hari nanti pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tidak lagi tergantung pada fluktuasi harga komoditas, karena kita juga punya alternative income dalam bentuk dividen ataupun profit sharing dari investasi-investasi yang sudah ditanamkan sebelumnya, dimana income ini langsung masuk ke kas negara dan bisa dialokasikan untuk APBN.

Kalau boleh jujur, jika mampu dikelola dengan serius, maka Indonesia Investment Authorities ini sebenarnya bisa juga langsung didirikan untuk kemudian beroperasi tanpa perlu menunggu support dana yang dihasilkan dari surplus natural resources. Sejak tahun 1974 lalu, atau kurang dari sepuluh tahun sejak negaranya merdeka, Pemerintah Singapura sudah mendirikan Temasek Holdings, sebuah perusahaan investasi yang kerjaannya menginvestasikan sejumlah dana yang sejak awal memang sudah dialokasikan oleh Pemerintah untuk diinvestasikan, tanpa perlu menunggu surplus dari hasil ekspor natural resources atau lainnya, karena memang Singapura nggak punya natural resources sama sekali. Dan setelah 40 tahun, pada saat ini Temasek merupakan salah satu perusahaan konglomerasi terbesar di dunia dengan total aset US$ 317 milyar pada akhir tahun 2013. Untuk tahun fiskal 2013, Temasek menghasilkan laba bersih US$ 10.6 milyar, yang kesemuanya menjadi milik Kementerian Keuangan Republik Singapura sebagai pemegang 100% sahamnya. Untuk state budget, Pemerintah Singapura juga secara rutin menarik dividen dari Temasek dengan nilai sesuai kebutuhan.



Kesimpulan

Karena negaranya tidak memiliki natural resources, maka nilai dana kelolaan yang dipegang Temasek sebenarnya relatif terbatas, sehingga kontribusinya terhadap perekonomian Singapura secara keseluruhan tidak terlalu signifikan, dan ini berbeda dengan BIA milik Brunei ataupun QIA milik Qatar, yang kinerja mereka dalam berinvestasi cukup berpengaruh terhadap perekonomian nasional.

Sementara posisi Indonesia lebih mirip dengan Brunei dan Qatar ketimbang Singapura, dalam hal kepemilikan sumber daya alamnya yang melimpah. However, jika Pemerintah kesulitan dalam mengambil alih semua aset natural resources yang tersebar di seluruh Indonesia (karena memang tidak semudah itu), maka paling tidak bisa dibuat beberapa formula atau peraturan yang memungkinkan Pemerintah memperoleh bagian lebih dari natural resources yang dihasilkan perusahaan-perusahaan. Contohnya, diluar pajak yang dibayar perusahaan, Pemerintah sudah menerima royalti dari batubara, bea keluar dari ekspor CPO, dan juga royalti dari tambang emas milik Freeport dan Newmont. Jika Pemerintah mampu bernegosiasi dengan pihak korporasi, maka nilai dari royalti dan bea keluar tersebut bisa dinaikkan sekian persen, katakanlah dengan menyesuaikan dengan harga komoditas di pasar internasonal (jadi kalau harga batubara naik, royaltinya ikut naik, kalau turun ya ikut turun).

Dana yang diperoleh kemudian dikumpulkan dalam satu wadah, katakanlah dengan nama Indonesia Natural Resource Fund, untuk kemudian jangan digunakan untuk apa-apa kecuali untuk investasi, dalam hal ini investasi di dalam negeri untuk membangun infrastruktur pelabuhan, pembangkit listrik dll. Selain itu, diluar dana yang dikelola sendiri oleh negara, Pemerintah juga bisa mengeluarkan peraturan yang mengharuskan korporasi-korporasi tambang dan lainnya untuk menggunakan perolehan laba yang besar termasuk ketika harga batubara sedang tinggi-tingginya, untuk diinvestasikan disini ketimbang dibawa kabur keluar negeri.

Sebab, sebagai mana yang kita ketahui pertumbuhan ekonomi didorong oleh empat komponen yakni konsumsi, investasi, belanja negara, dan ekspor, dan ditekan oleh satu komponen, yakni impor. Jadi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, ada banyak upaya yang bisa dilakukan selain dengan terus mendorong ekspor dan menekan impor, yakni juga dengan mendorong investasi di dalam negeri, atau boleh juga investasi diluar negeri selama dana yang diinvestasikan adalah milik Pemerintah atau pihak swasta domestik (sehingga keuntungan hasil investasinya akan tetap balik lagi ke Indonesia). Ketika harga-harga komoditas sedang naik, maka tidak hanya ekspor Indonesia yang meningkat namun surplus/cadamham dana yang bisa digunakan untuk investasi, baik oleh Pemerintah maupun swasta, juga turut meningkat. Dan ketika harga-harga komoditas sedang turun, maka penurunan nilai ekspor akan dikompensasi dengan peningkatan investasi, dimana dananya sudah 'ditabung' hasil dari tingginya nilai ekspor ketika harga-harga komoditas sedang tinggi.

Dengan cara inilah, yakni menyimpan/menabung kelebihan dana ketika lagi banyak duit dalam bentuk investasi, dan menggunakannya nanti ketika lagi susah (untuk konsumsi, belanja negara dalam bentuk subsidi, dll), maka ekonomi Indonesia akan bisa tumbuh secara stabil tanpa perlu lagi bergantung pada fluktuasi harga komoditas di pasar internasional.