Rabu, 01 November 2017

Sebuah renungan, kemana arah peradaban Islam

‘Membunuh’ Pesantren, Balqis Elvina Ashriyya dan Kisah Islam Peradaban 


Catatan Digital: Alfi Rahmadi

Sistem pesantren dalam amatan rezim geo politik dan ekonomi global, telah lama menjadi incaran untuk dibumi-hanguskan. Sebabnya, memang to be good to be true. Bisa dibayang: apa jadinya bila para santri dan santriwati Indonesia mengambil-alih rezim global. Karena itu bagi mereka mesti dimunaskah sejak dini. Caranya, yang sangat nampak hari ini:

Pertama, “semblih” kyai-nya dengan cara diberi penghargaan biar mabuk kepayang serta diajak menghadiri acara-acara nasional dan internasional. Kalau perlu jadikan ia nara sumber penting atau pembicara kunci biar lebih mabok panggung. Dengan prestise dan acara-acara bergengsi itu, sang kyai sebagai ruh pesantren sering meninggalkan pesantren. Dengan demikian perlahan-lahan pesantren terkikis juga ruhnya.

Kedua, ubah kurikulumnya, baik melalui otoritas pemerintah maupun injeksi kurikulum non formal. Pergeseran kurikulum tersebut bakal lebih semarak karena dilakukan sejalan dengan injeksi keuangan dan aneka bantuan berbagai fasilitas secara cuma-cuma. Alasan yang sering mengemuka sebagai proyek de-redikalisasi, upaya netralisir dari badai stigma dan generalisasi pesantren sebagai sarang teroris.

Ketiga, tanamkan kebencian mereka terhadap umat lain. Bahkan antar aliran dalam Islam itu sendiri. Tujuannya: membuat mereka terlatih untuk tidak menggunakan akal sehat atau nalar, dan berfikir semata berdasarkan emosi. Ringkasnya: tumpulkan akalnya, dan pertajam emosi kebenciannya. Buat seolah-olah orang lain yang tidak sepaham adalah musuh yang harus dilawan sekuat tenaga. Dengan cara ini mereka perang sesama Islam sendiri dan perang dengan umat lain. 

Kalau perang dengan umat lain, skenario rezim global sukses untuk semakin memberanggus Indonesia melalui agenda besar perang global melawan terorisme. Penguasa rezim global tak akan pernah lelah melancarkan tiga proxy war di atas. Dan kecemasan mereka sesungguhnya justru bertitik tolak dari keunggulan komparatif sistem pesantren nan unik tersebut.

Sumber keunikan sistem pesantren paling tua adalah hafalan Al-Qur’an. Rezim global nampak paranoid manakala peradaban Barat hari ini akan diambil-alih lagi oleh Timur, berangkat dari kitab suci satu ini selalu terbukti keilmiahannya. Terhitung sejak giatnya para penduhulu mereka mengkaji karya-karya otoritatif ilmuwan muslim pada abad pertengahan dan kajian ilmuan kontemporer mereka di zaman sekarang.

Di masa keemasan peradaban Islam, para sarjana Eropa giat sekali menimba ilmu di sejumlah universitas Islam di berbagai kota Spanyol. Seperti di Cordova, Toledo, Sevilla, Malaca, Granada dan Selamanca. Dikenal dengan nama Andalusia, Spanyol kala itu terletak di semenanjung Iberia, membentang antara Spanyol dan Portugal sekarang. 

Dua pusat Dinasti Andalusia sekaligus pusat ilmu pengetahuan di masanya: Cordova dan Granada. Cordova kala itu mempunyai perpustakaan dengan jumlah sekitar 400.000 buku di berbagai cabang ilmu pengetahuan.

Para sarjana Eropa sangat aktif bukan hanya mengkaji tapi juga menterjemahkan secara besan-besaran buku-buku karya ilmuan muslim kenamaan dari bahasa Arab ke Latin. Pusat penerjemahan kala itu berada di Toledo. 

Sepulang dari Andalusia, mereka terilhami mendirikan sekolah dan universitas di negeri masing-masing. Antara lain di Perancis, berdiri Universitas Paris pada 1213 M, tertua di Eropa. Di penghujung abad pertengahan barulah berdiri belasan universitas di daratan Eropa.

Di semenanjung Italia, setelah Sisilia jatuh kembali ke pangkuan Raja Frederick II (1194-1250 M), gerakan penterjemahan ilmu pengetahuan Islam oleh peradaban Barat juga digelar besar-besaran, dari bahasa Arab ke Latin. Frederick II mengirim Michael Scot (1175-1235 M), matematikawan dan astrolog asal Skotlandia, menetap di Cordoba demi memburu karya-karya Ibnu Sina, Bapak Kedokteran dunia itu.

Di antara nama popular ilmuan Eropa yang belajar di Andalusia adalah Roger Bacon (1214-1292 M), pendeta Kristen Roma dari Inggris. Dengan mempelajari bahasa Arab dan Latin ia mampu membaca naskah asli dan menerjemahkannya. Buku-buku asli dan terjemahan itu ia bawa ke Universitas Oxford. 

Di antara buku yang ia terjemahkannya adalah Al Manzir, karya Ibn Haitham (965-1038 M), Bapak Optik dunia. Buku ini memuat teori tentang mikroskop dan teleskop; tapi kelak banyak dikaitkan sebagai hasil karya dan teori Bacon. 

Di tengah kebuntuan Eropa menggelar peradaban—kalau tidak disebut kegelapan—dalam menciptakan berbagai fasilitas yang kita kenal hari ini, peradaban Islam menjadi sumber rujukan ilmu pengetahuan. Di antara gelombang renaissance yang paling menukik adalah berkat tercerahnya mereka dalam ilmu matematika. 

Adalah Abū Kāmil Shujāʿ ibn Aslam (850-930 M), dikenal dengan nama Abu Kamil atau Ibnu Shuja, menjadi salah satu rujukan terpenting. Dijuluki “al-Hasib al-Misri” atau "kalkulator Mesir", Abu Kamil adalah tokoh penyempurna sekaligus penghubung penting penemuan besar al-Khwarizmi (780-850 M) atau Bapak Aljabar dengan al-Karaji (953-1029 M), sang penemu geometri analitis dan perintis teknologi mesin air. 

Karya-karya besar Abu Kamil antara lain tentang solusi persamaan dalam kuadrat, persamaan Diophantus, dan aplikasi aljabar pada geometri. Kontribusinya memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan aljabar di dunia pada abad pertengahan. Pengakuan ini muncul antara lain dari Jacques Sesiano dalam karyanya “Islamic Mathematics”. 

Sejarahwan Prancis itu mengakui Abu Kamil adalah orang pertama yang menerima angka irrasional sebagai solusi untuk persamaan kuadrat atau koefisien dalam equation. Ia juga merincikan Abu Kamil seorang matematikawan Muslim pertama yang memecahkan persamaan tak tentu yang tidak ditemukan dalam Arithmatica karya Diophantus, matematikawan Yunani Kuno. 

Penemuan Abu Kamil kelak menjembatani penemuan Leonardo da Pisa atau Leonardo Pisano (1175-1250 M) dalam ilmu matematika. Fasilitas lift dan berbagai pembangkit energi yang kita kenal hari ini, tak lepas dari kisah dua penjembatanan yang dilakukan Abu Kamil.
Begitu pula gelombang renaissance yang tercerahkan dari astronomi. Teknologi antariksa negeri-negeri adidaya hari ini juga merupakan “hadiah” dari para ilmuan astronomi muslim di masanya. Salahsatu yang paling menonjol antara lain Ahmad ibn Yunus al-Sadafi al-Misri atau Ibnu Yunus (950-1009). Ia adalah orang pertama yang menggunakan pendulum untuk mengukur waktu. 

Magnum opusnya al-Zij al-Kabir al-Hakimi tentang tabel astronomi dengan observasi telah menjadi buku pegangan ilmu astronomi Timur-Barat. Temuannya menyumbang besar terhadap pengembangan formula prosthaphaeresis dan logaritma. Di antara pengembang yang lagendaris adalah Johannes Werner (1468-1522 M), dikenal dengan formula “Werner”. 
Nasir Al-Din al-Tusi (1201-1272 M) bukan pengecualian. Ia bahkan dikenal sebagai peletak dasar tabel astronomi yang memuat lingusitik dan tata kerja planet di ruang angkasa. Ia mengkalkulasi terperinci posisi dan nama-nama planet beserta nama-nama bintang yang menghiasinya. Dari situ ia menemukan teknik geometris untuk model planetary, disebut “Tusi Couple”. 

Nasir Al-Din al-Tusi juga pelopor observasi empiris rotasi bumi, kelak digunakan Nicolaus Copernicus (1473-1543 M) dalam teori alam semesta. Terbit dalam buku De Revolutionibus Orbium Coelestium (Revolusi Gerak Edar Benda Langit), karya Copernicus sempat dilarang oleh Gereja Katholik awal abad ke-16.

Di zaman ledakan ilmuwan Muslim, baik dari Dinasti Abbasiyah berpusat di Baghdad sampai Dinasti Mamluk (1250-1517 M) berpusat di Kairo, para bintang ilmuwan muslim berkerlap-kelip di segala cabang besar keilmuan. Sulit antar cabang keilmuan itu dipisahkan. Sebab para tokoh Muslim pada era sebelumnya sampai Mamluk menguasai interdisipliner di semua cabang besar keilmuan. 

Melekat dalam diri mereka—meminjam istilah KH. Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Pondok Modern Gontor—ulama yang intelek dan intelek yang ulama. Tidak ada beda dalam diri mereka seorang ilmuan sekaligus seorang ulama. Mengapa? Karena sumber ilmunya tak lain berangkat dari Al-Qur’an. Mereka semua bukan saja seorang penghafal Al-Qur’an, tapi penemu sains-sains yang berangkat dari kandungan makna dalam induk segala kitab itu.

Terbayang: alangkah ngerinya bila para santri-santriwati mengikuti jejak para pendahulunya itu. Peluang itu semakin tersusun sistematis bila mereka dibekali dan mengakar bahasa Arab dan Inggris-nya. Di tambah lagi dengan penguasaan mereka dalam teknologi digital sebagai generasi milineal. Jiwa kepemimpinan mereka sudah terpupuk sejak dini dalam sistem learning by doing dan “santri-santriwati governance”. Ini diringkas dengan jiwa yang siap dipimpin sekaligus memimpin secara gilir dan sesuai prestasi.

Sejarah emas masuknya peradaban Islam ke Indonesia melalui jalur damai bukanlah pengecualian dari kecemasan rezim global akan lahirnya para pemimpin Indonesia berlatarbelakang pesantren itu. Indonesia menjadi bukti dunia, dan itu diakui berulang-ulang dalam berbagai konferensi internasional, menjadi prototype terbaik akulturasi dengan segala keberagamannya sejak abad pertengahan sampai sekarang.

Terciptanya prototype terbaik itu berkat konsistensi ulama-ulama dan tokoh bangsa memegang teguh jalur damai itu sekaligus buah dari multikulturalisme--menjadi sunnatullah (hukum besi)--yang sangguh terlestarikan itu. Ini menjadi penjelas kenapa kebhinnekaan telah lama menjadi DNA Indonesia, sejak masih dikenal nama Nusantara, terdiri dari kesultanan-kesultanan Islam sezaman dengan era Dinasti Abbasiyah, Mamluk sampai Utsmaniyah. Luasnya terbentang hampir se-Asia Tenggara.

Lebel prototype akulturasi terbaik itu makin kuat melekat didasari oleh fakta perang saudara sebangsa dan seagama negeri-negeri Timur Tengah dan negeri Teluk yang tak berkesudahan. 

Malik Bennabi (1905-1973), atau sering tulis dengan ejaan "Bin bin Nabi", seorang pemikir muslim abad ke-20, kelahiran AlJazair dan menghabiskan hidupnya di Paris-Kairo, benar-benar pesimis akan kebangkitan peradaban Islam di Timur Tengah, menyaksikan pertikaian berdarah-darah antar sesama itu sejak zaman dulu. Maka di era 1950-an, ia meramalkan bahwa Indonesia akan mengambil alih tugas peradaban itu. 

Ramalannya tersebut tak lain bertitik tolak dengan populasi Indonesia muslim terbesar dunia, jejak dan pengalaman meng-handle multikulturalisme, sumber daya alam masih berlimpah ruah (dengan segala energi terbarukan non fosil). 

Bakal menjadi kiblat peradaban Islam dunia, pengarang kitab Wijhah al-Alam al-Islami (Masa Depan Dunia Islam) 1959 itu dengan lantang mengungkapkan bahwa “dunia Islam beralih dan tunduk pada tarikan gravitasi Jakarta sebagaimana pernah tunduk pada tarikan gravitasi Kairo dan Damascus." 

Cobalah baca karya-karyanya: tanda-tanda tarikan gravitasi itu tergambarkan dalam karyanya, antara lain Fikrah al-Ifriqiyyah al-Asiawiyyah (Pemikiran Asia-Afrika) 1956 dan Syurut al-Nahdah (Syarat-syarat Kebangkitan) 1960.

Di antara sel-sel potensi Indonesia sebagai pusat peradaban Islam dunia ini, kami sekeluarga, keluarga besar alm. Marwan Abdul Razak dan Juwairiyah Abdul Aziz, patut bersyukur dan bangga atas prestasi Balqis Elvina Ashriyya, putri pertama dari adik kami, Maya Puspa Sari .

Balqis cilik menjuarai Musabaqoh Hifzil Qur’an (MHQ), digelar di Banda Aceh, 9-10 Oktober 2017, tingkat nasional untuk anak seusia dirinya, jenjang SMP. MHQ rutin digelar oleh Kementerian Agama RI secara berkala. 

Ananda Balqis yang lahir di waktu ashar dan pernah kencing dalam gendongan saya saat usianya 2 tahun itu mewakili Provinsi Jawa Barat; bukan tanah kelahirannya di Kepulauan Bangka-Belitung. Sebab di usia SMP sekarang, ia menimba ilmu di Pesantren Ummul Quro di Salopa, Tasikmalaya.

Dari 34 peserta se-Indonesia, “Balqicun”—demikian sapaan manjanya—masuk dalam 10 besar. Di fase final, langkahnya terhenti, karena menurutnya grogi. Saya maklum, karena ini kali pertama Balqis masuk dalam kompetisi tingkat nasional tersebut dengan modal hafalan 8 juzz. Ia pun harus puas menyandang gelar juara harapan. 

Memiliki kecerdasan dalam kesustraan dan bahasa, mungkin menular dari saya (hehe), Balqies juga sejak TK gemar mengutak-atik angka dan bermain logika dalam kata-kata. Seorang kutu buku, mungkin menular dari paman tertuanya: Ridwan Effendy. 

Saya membayang: bila hafalan dan ulumul Qur’an yang telah dikantonginya sejak usia belia ini suatu hari ia kembangkan dalam sains-sains yang ia gemari. Antara lain matematika itu sendiri. 

Semoga saja lahir Abu Kamil, al-Khwarizmi dan al-Karaji dalam warna baru di era mendatang, menggenapi ramalan Malik Bennabi tentang Indonesia.