Rabu, 21 April 2021

Mengapa hanya Al-Quran yang dijaga sampai saat ini, sedangkan kitab 4 yang lainnya tidak?

Pernah dengar blockchain? Sistem penyimpanan dan transmisi data dengan menggunakan jaringan terdistribusi. Atau bahasa sederhananya, semua memiliki data yang sama, jika ada perbedaan maka bisa saling memeriksa kesesuaian. Tidak ada pemegang sumber data utama, atau kelompok yang memegang kendali terhadap distribusi data. Semuanya terlibat dalam kepemilikan data dan dalam pendistribusiannya.

Dahulu, sekitar 50 tahun yang lalu, sumber data dikuasai oeh 1 sumber. Tidak boleh ada yang mendistribusikan berita selain pemerintah pusat. Hal ini bisa disamakan dengan Centralized Network.
20 tahun lalu terjadi reformasi. Sumber berita dapat disebarkan oleh kelomppok pemegang media, seperti stasiun tv, pemilik media cetak dan media radio. Mereka-merekalah yang menguasai pasar. Hal ini bisa disamakan dengan Decentralized Network.
Semakin berkembang teknologi, setiap pemilik telepon seluler memiliki kemampuan untuk akses informasi dan juga membuat konten. Sosial media menjadi cara baru dalam menyebarkan dan mendapatkan informasi. Hal ini dapat disamakan dengan distributed network. Gambar berikut bisa jadi gambaran seperti apa network yang saya maksud.[1]

Kembali ke blockchain, sistem ini juga menggunakan distributed network. Setiap elemen memiliki kemampuan untuk saling mengecek apakah data yang ada di dirinya ataupun di orang lain adalah valid. Hal ini bisa meminimalisir fraud atau data yang tidak tepat. Sistem ini memiliki kemampuan untuk berinteraksi, saling crosscheck, guna mencapai tujuan yang sama.

Setelah blockchain, kita beralih ke pemancar radio. Menara radio (gambar di bawah) memancarkan sinyal radio ke seluruh area. Pada area yang dekat dengan pemancar, pendengar dapat menikmati suara lagu dengan nikmat. Namun untuk pendengar radio yang berada di pinggir kota, jauh dari pemancar, lantunan lagu yang ia dengar juga menurun kualitasnya, kresek-kresek, atau hilang timbul, atau bahkan tak bisa mendengar suara sama sekali. Oleh karena itu perlu solusi agar pesan bisa sampai ke tempat yang lebih jauh, misal dengan relay (pemancar ulang) atau dengan satelit yang dapat memancarkan sinyal radio secara global, sehingga cakupan area yang bisa menerima informasi jauh lebih luas. Situasi penyampaian pesan lewat radio bisa digambarkan seperti ini.[2]

Sekarang kita kembali lagi ke pertanyaan. Mengapa hanya Al Qur'an yang dijaga sampai saat ini, sedangkan kitab 4 yang lainnya tidak?

Para Rasul bertugas mengajarkan kitab (tulisan) dan hikmah (pesan). Di sini saya mencoba menganalogikan sebagai data dan informasi.

Pada era Nabi Nuh, Hud, Shaleh, Allah menjaga pesan dengan centralized dan cakupan area nya adalah kaum para Rasul itu saja. Menjaga data (tulisan) masih belum efektif, karena media penyimpanan data (storage) yang bisa bertahan lama saat itu belum tersedia.

Pada era Nabi Ibrahim hingga Nabi Isa, Allah menjaga data dan informasi menggunakan decentralized yaitu dengan kelompok yang disebut Bani Israel[3]. Kelompok ini mengangkat janji untuk menjaga kitab (tulisan) untuk disebarkan ke bangsa tempat mereka tinggal, sebagaimana Musa beranjak ke Fir'aun[4] dan Sulaiman ke beragam negeri yang ia taklukkan. Relay tongkat kenabian berlaku di kalangan Bani Israel untuk terus menjaga data dan informasi yang diturunkan oleh Allah. Media penyimpanan data juga sudah mulai banyak bermunculan, mulai dari kulit binatang yang bisa dijadikan lembaran, batu yang bisa dijadikan tablet, hingga papyrus yang dijadikan gulungan berisi tulisan. Namun media ini masih belum efektif dan efisien karena usia materialnya tidak dapat bertahan lama, berat hingga sulit untuk dibawa kemana saja. Pada proses relay di ahli kitab ini juga mungkin terjadi kesalahan transmisi data, dan sulit untuk melakukan crosscheck pada media yang sudah rusak.

Pada era Nabi Muhammad, Allah menjaga Al Qur'an dengan metode yang lebih sempurna, yaitu metode Iqra[5] melalui hafalan manusia dan pena. Semua orang mempunyai akses ke ayat-ayat Qur'an, dan bisa saling mengoreksi apabila ada hafalan yang keliru. Nabi sebagai penerima pesan, mengkodekan dalam bentuk tulisan arab pada media yang lebih portable dan bisa diduplikasi secara massal. Teknologi penyimpanan data saat itu sudah cukup canggih dengan ditemukannya kertas[6] sehingga tugas Nabi kala itu adalah menghimpun pemuda yang pandai tulis menulis dan kemudian ditempatkan pada rumahnya untuk menulis dan menghafal Al Qur'an. Pemuda-pemudi yang tinggal di rumah Nabi beserta keluarganya masuk ke dalam golongan ahl-bayt[7] dan para penulis serta penghafal itu disebut sebagai Al Qari.[8] Para Qari dapat menularkan data dan informasi tersebut ke orang lain, sehingga penyebaran Al Qur'an menjadi lebih pesat dan tidak tersentralisasi. Apabila ada ayat baru yang turun ke Rasul, maka beliau dapat menyebarkan informasi ini dengan cepat, dan setiap orang bisa saling memverifikasi.

Selain itu Nabi juga tidak terafiiiasi dengan para ahli kitab (teknologi menara), dan beliau dikirimkan sebagai rahmatan lil alamin, sehingga bisa dianalogikan daya pancar pesan beliau seperti satelit yang bisa menutupi seluruh permukaan bumi. Gabungan teknologi, sistem dan goal inilah yang membuat Al Qur'an tetap terjaga.

Menjawab pertanyaan di atas, Allah tetap menjaga semua pesan (zikir) Nya sesuai dengan perkembangan peradaban manusia seperti yang tertulis pada Al Hijr ayat 9.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ

innā naḥnu nazzalnaż-żikra wa innā lahụ laḥāfiẓụ

.Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Pesan Pengingat, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya, Allah mengetahui yang sebenarnya.


https://id.quora.com/Mengapa-hanya-Al-Quran-yang-dijaga-sampai-saat-ini-sedangkan-kitab-4-yang-lainnya-tidak

Sugih tanpo bondo

Sugih tanpo bondo (Kaya tanpa harta)

Digdoyo tanpo aji (Tak terkalahkan tanpa kesaktian)

Nglurugtanpo bolo (Menyerbutan papasukan)

Menang tanpo ngasorake (Menang tanpa merendahkan)

Trimah mawi pasrah (Menerima juga pasrah)

Suwung pamrih tebihajrih (Jika tanpa pamrih tak perlu takut)

Langgeng tan onosusah tan onobungah (Tetap tenang meskipun ada duka dan suka)

Anteng mantheng sugeng jeneng (Tidak macam-macam membuat nama baik terjaga).

R.M.P. Sosrokartono, kakak kandung R.A. Kartini.

Secara harafiah dapat diartikan: Kaya tanpa Harta, memiliki Kesaktian tanpa Ilmu/benda pusaka, Menyerang tanpa bala Pasukan, Menang tanpa Merendahkan.

1. Sugih tanpa bandha. Sugih tanpa bandha, kaya tanpa harta. Kaya yang dimaksud sebenarnya adalah tidak berkekurangan, artinya bukan semata-mata harta yang menjadikan tolok ukur. Kaya yang dituju dalam hidup bukanlah pengumpulan harta benda dan uang selama hidup.Tidak berkekurangan karena kita mempunyai relasi yang banyak, pertemanan yang banyak, dimana relasi tersebut membuat kita selalu mudah untuk melakukan segala sesuatu, karena relasi kita, teman-teman kita secara langsung / tidak langsung mau membantu kita, bahkan dengan sukarela / ikhlas. Hal tersebut sebenarnya berawal dari kita sendiri, dimana kita juga dituntut sebelumnya mau melakukan segala sesuatu dengan sepenuh hati, bahkan tanpa imbalan sekalipun. Dengan demikian, dalam kehidupan kita, budi baik kita, akan senantiasi diingat orang lain, dan suatu waktu kita membutuhkan bantuan / pertolongan orang lain, orang lain yang juga dengan sepenuh hati menolong kita / membantu kita, juga tanpa imbalan.

2. Digdaya tanpa aji Kekuasaan sering kali tercipta karena suatu kemenangan fisik, kemenangan mental. Ungkapan Jawa ' digdaya tanpa aji ' tersebut di atas, kata-kata kekuasaan bukan juga karena kita mempunyai suatu ilmu beladiri / ilmu tenaga dalam / aji-aji. Namun disini, suatu kekuasaan tercipta karena citra dan wibawa seseorang, perkataannya, membuat orang lain sangat menghargainya. Sehingga apa yang diucapkannya, orang lain senantiasa mau mengikutinya.

3. Nglurug tanpa bala Ungkapan Jawa nglurug tanpa bala dapat di artikan secara harafiah ' menyerang tanpa pasukan '. Di sini memiliki arti bahwa kita haruslah menjadi orang yang berani bertanggung jawab, berani untuk beraksi walaupun terkadang tinggal kita sendiri. Sikap ini adalah mencontoh sikap kesatria, yang mana bukanlah orang yang mudah untuk terhasut, ikut-ikutan, tetapi lebih cenderung kepada orang yang berani maju, berani meghadapi masalah, berani untuk bertanggung jawab, walaupun yang lainnya mundur / lari dari masalah tersebut.

4. Menang tanpa ngasorake Ungkapan Jawa menang tanpa ngasorake tersebut memiliki arti bahwa tujuan pencapaian kita yang kita harapkan, kemenangan yang kita inginkan, haruslah tanpa merendahkan orang lain. Secara modern filosopi ungkapan ini sama dengan ' win win solution ', yang memiliki arti semua pihak yang berselisih paham memiliki hasil yang menguntungkan untuk semuanya.

5. Trimah mawi pasrahyaitu menerima dengan kepasrahan terhadap apa yang ada, karena semua berasal dari Tuhan dan akan kembali pada-Nya.

6. Suwung pamrih tepi ajrih maknanya, jika kita tidak ada niat jahat kita tidak perlu takut.

7. Langgeng tan ana susah tan ana bungah, yang artinya tetap tenang dalam susah ataupun susah. Karena, dengan ketenangan kita bisa mengukur kemampuan kita dan juga lebih bersabar menghadapinya.

8. Anteng manteng sugeng jenengmaknanya yaitu dengan diam sungguh-sungguh maka akan selamat sentosa atau dengan diamnya kita dengan kesabaran. Juga diamnya kita bertafakkur pada Tuhan dan senantiasa diisi dengan dzikir merenungi ciptaannya.

Kurang lebih makna dari syair tersebut seperti itu. Yaitu mengedepankan kepasrahan pada Tuhan. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari apa yang para pendahulu telah sampaikan.

Ungkapan Jawa ( Lokal / Indonesia ) sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake tersebut di atas dapat di jadikan pedoman berperilaku dalam hidup kita. Filosofi yang sangat mendasar, yang akan membuat hidup kita menjadi kehidupan yang lebih indah, tanpa merendahkan orang lain, kehidupan yang di isi dengan sikap-sikap kesatria, kehidupan yang jauh dari keserakahan.



Senin, 19 April 2021

Asas praduga tak bersalah dalam hukum

Indonesia itu negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum, bahkan konon semua penduduknya sangat menghargai dan mentaati hukum, maka hargai dan taatilah hukum yang berlaku dan janganlah menjadi hakim dan main hukum sendiri jika tidak berkapasitah pada bidang itu. Hargailah asas hukum praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang ada pada undang-undang dan bukannya memvonis orang lain bersalah selagi kasusnya masih diproses-selesaikan di pengadilan.

Asas praduga tak bersalah itu telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Pada UU Kehakiman, asas praduga tak bersalah tertuang pada Pasal 8 ayat (1), yaitu:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Sedangkan pada KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf C yang berbunyi: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Jika ada undang-undang demikian, bisa saja vonis yang Anda sematkan kepada seseorang sebelum ada keputusan pengadilan adalah pencemaran nama baik ataupun fitnah terhadap orang tersebut. Ingatlah bahwa Anda bukan orang yang hobi memfitnah. Ingatlah bahwa agama Anda melarang perbuatan tersebut. Dan ingatlah besarnya dosa fitnah itu. Sadarlah wahai saudaraku!! 


dikutip dari : https://saidnazulfiqar.wordpress.com/


Catatan penulis;

Pada setiap frasa "Asas praduga tak bersalah" dalam Undang-Undang, selalu diikuti oleh frasa " di muka/ di depan Pengadilan. Mengapa demikian?

Sejatinya "Asas praduga tak bersalah" berlaku bagi Hakim Pengadilan, karena sebagai pengadil suatu perkara, Ia harus berpikir dan bertindak obyektif sebelum membuat keputusan/vonis. 

Beda halnya dengan Jaksa selaku Penuntut Umum, memandang terdakwa selaku individu yang patut diduga bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan 2 (dua) alat bukti. Juga Penasehat/Kuasa Hukum sebagai salah satu unsur aparat pengadilan yang berkepentingan untuk membela terdakwa atau setidaknya mengupayakan keringanan hukuman yang akan diputuskan oleh Hakim dalam persidangan.

Karena itulah, Hakim sebagai profesi yang mulia, Ia dengan segala kewenangannya wajib memandang setiap terdakwa atau pemohon keadilan dengan praduga tak bersalah sampai dengan dinyatakan oleh alat bukti dan fakta persidangan, sebagai tanggungjawab demi keadilan dan kepada Allah SWT.