Mengenal Sejarah Dinar dan Dirham
Kita mungkin sedikit bingung melihat Dinar dan Dirham yang beredar di lingkungan kita beraneka rupa ukuran, desain yang beragam, tingkat kemurnian yang berbeda dan pastinya beraneka pula nama penerbit Dinar Dirham itu.
Untuk menjawab pertanyaan:
Mengapa ada Dinar 22 karat dan ada 24 karat?
Mengapa berat Dinar berbeda-beda?
Mengapa ada banyak sekali penerbit Dinar Dirham?
Baiknya kita lihat fakta dan sejarah Dinar dan Dirham agar kita kenal dengan “barang” ini. Dinar dan Dirham adalah mata uang asli Romawi dan Persia yang saat itu menjadi negara adikuasa dan bukan mata uang negara-negara Arab. Dinar dan Dirham yang beredar di jazirah Arab berasal dari Romawi dan Persia yang dibawa oleh pedagang Arab yang berdagang dari Syam (dibawah pengaruh Romawi) dan Yaman (dibawah pengaruh Persia). Bangsa Arab terutama berdagang secara barter. Dan tidak pernah membuat mata uangnya sendiri kecuali tukar menukar dengan garam atau kulit onta, jika itu bisa disebut sebagai mata uang. Pemerintahan Islam yang kemudian berkuasa, hanya sekedar melanjutkan tradisi Dinar dan Dirham dan tidak mempermasalahkan Dinar dan Dirham yang dicetak Romawi dan Persia. Nabi Muhammad menstandarkan tiga jenis Dirham yang beredar saat itu menjadi satu jenis Dirham saja yaitu Dirham 14 qirat. Umar bin Khattab menegaskan timbangan berat emas dan perak, 7 Dinar beratnya setara 10 Dirham.
Satu Dinar adalah setara dengan satu Mitsqol dan setara dengan 72 gandum potong ujung. Dinar pertama dari Pemerintahan Islam baru lahir pada pemerintahan Abdul Malik bin Marwan kurang lebih 50 tahun setelah wafat Rasullullah. Berat Dinar modern 4,25 gr dibuat mengacu pada standar berat Dinar Abdul Malik bin Marwan. Didasarkan dari penimbangan berat Dinar Abdul Malik yang tersimpan di Museum London. Tidak ada jaminan bahwa Dinar Abdul Malik ini memiliki berat yang sama dengan Dinar yang beredar pada zaman Nabi, kecuali hanyalah dugaan yang masih bisa diperdebatkan. Ukuran berat Dinar Abdul Malik bin Marwan itu dibuat dengan mengacu pada Solidus, mata uang Romawi Byzantium yang lazim beredar saat itu, bukan dibuat dengan mengacu pada standar Mitsqol yang lazim digunakan pada zaman Nabi.
Pertanyaan berikutnya :
Apakah berat Dinar 4,25 gr yang bahkan lebih ringan dari Solidus ini bisa mewakili berat Dinar dijaman Nabi?
Sunah Nabi atau Sunah Abdul Malik kah Dinar 4,25 gr itu?
Berikut ini penjelasannya
Faktanya ada banyak ragam Dinar Romawi dengan berbagai ukuran dan berat yang tidak seragam, apalagi bila berbeda generasi. Satu Mitsqol setara dengan 72 gandum potong ujung memiliki kisaran berat 4,3 gr – 4,5 gr. Berat Dinar modern 4,44 gr atau 4,5 gr mengacu pada standar mitsqol ini. Adakah Dinar 4,44 gr atau 4,5 gr beredar di Indonesia? Faktanya Dinar yang beredar di Indonesia masih 4,25 gr. Berat Dinar modern 4,44 paling mendekati dengan rata-rata berat 72 gandum potong ujung dan suatu kebetulan yang disengaja, memudahkan konversi dengan troy oz. Example, 1 dinar=1/7 oz dan 1 dirham=1/10 oz.
Faktanya timbangan Mitsqol hingga hari ini belum pernah di standarkan dalam sistem pengukuran modern manapun. Tampaknya sistem ini kalah proaktif dibandingkan saudaranya ounce dan troy ounce yang lebih dikenal di Eropa. Sejak dahulu orang mengenal Dinar sebagai logam emas murni tanpa campuran karena Dinar ini memang dibuat tanpa mencampurkan bahan apapun lagi. Pada zaman itu, teknologilah yang membatasi orang untuk mencapai tingkat kemurnian yang tertinggi.
Keterbatasan teknologi Romawi saat itu membuat kemurnian Dinar menjadi tidak seragam.Terdapat Dinar dengan kemurnian beragam mulai dari 18 karat, 21 karat, 22 karat hingga 23 karat. Pada zaman tersebut, kadar itulah yang disebut sebagai emas murni. Semakin maju suatu rezim semakin tinggi tingkat kemurnian dinarnya.
Dasar yang menjadi penetapan lahirnya Dinar 22 Karat adalah karena Dinar dengan kadar 22 karat inilah yang dianggap paling banyak dipakai pada masa lampau.
Dasar yang menjadi penetapan lahirnya Dinar 24 Karat ialah mengikuti pemahaman orang-orang dahulu yang menyatakan bahwa Dinar itu sejatinya adalah emas murni tanpa campuran. Standar emas murni sesuai dengan teknologi masa kini adalah 24 Karat.
Sampai sekarangpun, faktanya memang tidak ada emas yang benar-benar murni 100%, setidaknya teknologi saat ini belum mampu mencapai kemurnian 100% atau real 24 Karat.Standar minimum yang diterima oleh pasar sebagai emas murni saat ini adalah kemurnian minimal 99,5 % atau 23,88 Karat. Lazimnya secara ekonomi adalah kemurnian 99,99 % atau 23,9976 Karat.
Jika Romawi saja selalu berusaha memperbaiki tingkat kemurnian Dinarnya, adalah hal yang aneh jika kita tidak menginginkan tingkat kemurnian Dinar yang lebih tinggi.
Hukum yang berlaku dalam pembuatan Dinar dari tiap zaman tetap sama yaitu adalah sedapat mungkin membuat logam yang paling murni tanpa campuran apa-apa lagi. Karena memang begitulah Dinar dipahami sebagai emas murni.
Zakat emas dihitung berdasarkan emas murni bukan campuran.Adalah hal yang umum kita menghitungnya dengan emas 24 karat. Faktanya membayar zakat dengan dinar emas 22 karat sangat merepotkan dan membingungkan dibanding dengan dinar emas 24 karat.
Sebagian kelompok menganggap bahwa Dinar 24 K lebih lunak sehingga tidak pantas dan tidak layak digunakan sebagai mata uang. Faktanya, semua orang tahu bahwa emas 24 K lebih bernilai dibanding emas 22 K. Jika garam saja pantas dan layak digunakan sebagai mata uang, bagaimana mungkin emas 24 K yang lebih bernilai dari emas 22 K dianggap tidak pantas dan tidak layak sebagai mata uang.
Sebagian kelompok menganggap bahwa Dinar harus beredar secara fisik dari tangan ke tangan dari dompet ke dompet dalam perniagaan, oleh karena itu Dinar harus memiliki sifat kuat dan tahan lama.
Saat Dinar benar-benar diterapkan dalam sistem keuangan, yang paling berkembang justru adalah Perbankan Syariah. Dan perniagaan memiliki kemudahan dalam sistem transfer Rekening Dinar. Saat hal itu terjadi, Dinar tak memerlukan sifat kuat dan tahan lama, tetapi justru tingkat kemurnian dan takaran yang benar yang lebih diutamakan.
Tidak ada ketentuan syariah yang menyatakan bahwa dinar harus keras dan tahan lama. Perkara keawetan dinar semata-mata hanyalah karena pertimbangan ekonomi bukan syariah. Biaya mencetak ulang Dinar lunak lebih murah daripada biaya membuat Dinar keras. Lunak adalah sifat alamiah emas yang dianugerahkan kepada Allah untuk menghindari kemungkinan pemalsuan.
Membuat Dinar keras dengan mengurangi kemurnian bukanlah satu-satunya jalan untuk membuat Dinar lebih awet. Dinar lunak pun dapat dilindungi oleh segel hard plastik yang lebih murah untuk membuatnya lebih awet.
Dinar dan Dirham yang beredar saat ini hanyalah sebagai uang swasta yang dikeluarkan oleh penerbit swasta yang memiliki kedudukan yang sama. Dinar dan Dirham bukan legal tender menurut negara. Pihak yang paling berhak mencetak dan menstandarisasi Dinar Dirham adalah Pemerintah dan bukan pihak swasta manapun.
Beberapa pihak yang tak puas dengan sistem mata uang fiat Pemerintah, memilih mengembangkan mata uangnya sendiri-sendiri berbasis Dinar. Komunitas-komunitas yang tersebar di seluruh penjuru dunia memiliki standar masing-masing dalam menetapkan standar Dinar.
Tidak hanya terjadi di Indonesia, standar Dinar yang berbeda-beda juga terjadi di seluruh penjuru dunia.
Ada komunitas yang menerima Dinar dengan standar komunitas lain, tetapi ada juga komunitas yang hanya mengakui standar Dinar milik komunitasnya sendiri dan menganggap Dinar milik komunitas lain “bid’ah”. Sayangnya Pemerintah belum mengambil haknya sebagai penentu standar Dinar yang legal. Oleh karena itu sampai sekarang masing-masing kelompok berdiri dengan Dinarnya masing-masing.
Tidak ada paksaan dalam syari'ah dan muamalah, khususnya tidak ada pihak yang bisa memaksakan suatu standar kepada oranglain. Suatu standar bisa saja dianggap benar oleh sebagian kelompok akan tetapi bagi oranglain mungkin saja akan mengganjal di hati.
Menyamakan harga Dinar dengan negara lain dengan maksud menstandarkan harga tukar adalah perbuatan menzolimi warga negara tempat dinar dibuat dan diedarkan. Menaikkan nilai premium pada dinar tanpa melihat kondisi sosio kultural dan ekonomi setiap warga negara inilah yang disebut menzolimi umat karena sama saja dengan riba. Harga Kambing disetiap negara juga berbeda-beda, dan tidak bisa di anggap pukul rata. Kita bisa beli kambing 1 dinar karena harga emasnya bukan harga premiumnya.
Harga Dinar saat ini seolah-olah menjadi hak eksklusif penerbitnya, sehingga harga Dinar berbeda-beda antara satu penerbit dengan lainnya. Sayangnya Dinar bukan dijadikan sebagai alat untuk berdagang tetapi produk dari dagangannya itu sendiri. Jadi gak ada bedanya dengan pedagang uang -Rothschild/Rockefeller?
Biaya pembuatan koin menjadikan harga dinar lebih tinggi dari nilai intrinsiknya.Harga premium ini sesungguhnya lebih dekat kepada riba. Tidak ada ketentuan syariah bahwa dinar harus berdesain indah dan berbentuk koin. Yang terpenting pada Dinar adalah kandungan kemurnian emas dan beratnya. So, Dinar dalam bentuk batangan bisa menjadi alternatif.
Saya rangkum dari berbagai sumber. Jika ada yang kurang atau salah, silahkan di koreksi.
Oleh: Randy Sandiya Permana, Yogyakarta
sumber :http://fimadani.com/mengenal-sejarah-dinar-dan-dirham/