Dalam khazanah hukum Islam, terdapat beberapa istilah untuk menyebut uang; Dawud (1999, 3) dan Syabir (1999, 175) menyebutkan antara lain nuqud (bentuk jamak dari naqd), atsman (bentuk jamak dari tsaman). Dilihat dari sudut bahasa, menurut Al-Ashfahani (1961,82) atsman memiliki beberapa arti; antara lain qimah, yakni nilai sesuatu, dan “harga pembayaran barang yang dijual” yakni sesuatu dalam bentuk apa pun yang diterima oleh pihak penjual sebagai imbalan dari barang yang dijualnya; sedangkan dalam tataran fiqih, kata itu digunakan untuk menunjukkan uang emas dan perak; demikian juga fulus (bentuk jamak fals) Fulus digunakan untuk pengertian logam bukan emas dan perak yang dibuat dan berlaku di tengah-tengah masyarakat sebagai uang dan pembayaran, sikkah (bentuk jamaknya adalah sukak) dipakai untuk dua pengertian; pertama, stempel besi untuk mencap (mentera) mata uang, dan kedua, mata uang dinar dan dirham yang telah dicetak dan distempel, dan ‘umlah yang memiliki dua pengertian; pertama, satuan mata uang yang berlaku di negara atau wilayah tertentu, misalnya ‘umlah yang berlaku di Yordania adalah Dinar dan di Indonesia adalah Rupiah; kedua, mata uang dalam arti umum sama dengan nuqud. Namun demikian, ulama fiqih pada umumnya lebih banyak menggunakan istilah nuqud dan tsaman dari pada istilah lainnya. Dalam tulisan ini, istilah yang sering digunakan adalah nuqud.
Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian nuqud. Al-Sayyid ’Ali (1967, 44) mengartikannya dengan “semua hal yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan transaksi, baik Dinar emas, Dirham perak maupun fulus tembaga.” Sementara Al-Kafrawi (1407, 12) mendefinisikannya dengan “segala sesuatu yang diterima secara umum sebagai media pertukaran dan pengukur nilai”.
Sementara itu, Qal’ah Ji (1999, 23) mengemukakan definisi yang memberikan penekanan pada aspek legalitas di samping juga memperhatikan aspek fungsi sebagaimana definisi di atas. Ia mengatakan, “nuqud adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.” Atas dasar definisi ini ia berpendapat, seandainya masyarakat dalam melakukan transaksi menggunakan unta sebagai alat pembayaran, unta tersebut tidak dapat dipandang sebagai uang (nuqud) melainkan hanya sebagai badal (pengganti) atau ‘iwadh (imbalan). Hal itu karena sesuatu yang dipandang sebagai uang harus memenuhi sekurang-kurangnya dua syarat. Pertama, substansi benda tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara langsung melainkan hanya sebagai media untuk memperoleh manfaat; dan kedua, dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas untuk menerbitkan uang seperti bank sentral.
Walaupun di kalangan ulama cukup populer istilah nuqud untuk pengertian uang, ternyata kata itu tidak ditemukan di dalam al-Qur’an. Untuk menunjukkan uang atau fungsinya, al-Qur’an menggunakan beberapa istilah, antara lain “dirham”, “dinar”, “emas”, dan “perak”. Kata dirham hanya disebutkan satu kali, yaitu dalam QS. Yusuf (12) ayat 20:
“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja…”.
Dalam ayat ini selain dikemukakan dirham sebagai mata uang dan fungsinya sebagai alat pertukaran, disinggung juga bahwa penggunaan dirham di kalangan masyarakat saat itu berpatokan pada jumlah atau bilangan, bukan pada nilainya.
Sebagaimana dirham, kata dinar hanya disebutkan satu kali, yaitu dalam QS. Ali ‘Imran (3) ayat 75:
“Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya…”
Ayat ini, selain menyebutkan dinar sebagai satuan mata uang tertentu untuk pengukur nilai, mengisyaratkan pula bahwa uang adalah alat penyimpan nilai.
Mengenai kata emas dan perak cukup banyak ditemukan dalam al-Qur’an. Hal ini nampaknya disebabkan ketika al-Qur’an diturunkan masyarakat banyak menggunakan emas dan perak dalam melakukan kegiatan transaksi. Emas disebutkan pada delapan tempat; di antaranya QS. al-Taubah (9) ayat 34:
“…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”
Selain mengandung isyarat bahwa emas dan perak adalah satuan mata uang, alat pembayaran dan penyimpan nilai, ayat ini mengandung larangan penimbunan uang karena akan berakibat “mematikan” fungsinya sebagai sarana kegiatan ekonomi.
Ayat lain yang menyebutkan emas sebagai mata uang dan alat pertukaran adalah QS. Ali ‘Imran (3) ayat 91:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang di antara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu…”.
Sementara itu, kata perak disebutkan enam kali dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah QS. Ali ‘Imran (3) ayat 14:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak…”;
dan QS. al-Kahf (18) ayat 19:
“…Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini…”.
Dalam surat al-Kahf ini, kata perak tidak disebut dengan fidhdhah sebagaimana dalam ayat-ayat lain, tetapi dengan kata wariq, yaitu perak yang dicetak dan dijadikan uang.
Sejarah mencatat bahwa bangsa Arab pada masa Jahiliah telah melakukan kegiatan perdagangan dengan negara-negara tetangga di kawasan utara dan selatan. Hal itu tersirat dalam firman Allah SWT,
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas” (QS. Quraisy [106]: 1-2).
Ketika pulang mereka membawa uang Dinar Emas dan Dirham perak. Al-Balazdari menuturkan: Dinar Heraclius (Kaisar Byzantin) dan Dirham Baghli dari Persia telah masuk ke penduduk Mekah pada masa Jahiliah. Hanya saja, uang yang mereka gunakan untuk melakukan transaksi jual beli tersebut pada umumnya masih dalam bentuk tibr (butiran, belum dicetak sebagai mata uang).
Selain uang, dalam melakukan transaksi mereka menggunakan beberapa macam timbangan seperti mitsqal. 1 (satu) mitsqal berbobot 21 3/7 qirath, dan bobot 10 dirham adalah 7 mitsqal. Bangsa Quraisy menimbang perak dengan timbangan yang disebut dirham dan menimbang emas dengan timbangan yang disebut dinar. Setiap 10 timbangan dirham sama dengan 7 timbangan dinar.
Timbangan lainnya adalah sya’irah yang bobotnya sama dengan 1/60 (satu perenampuluh) timbangan dirham; uqiyah adalah 40 dirham; dan nuwat adalah berbobot lima dirham. Mereka melakukan transaksi dengan timbangan-timbangan tersebut dalam bentuk tibr.
Hal senada dikemukakan oleh Al-Maqrizi. Ia menuturkan, “Mata uang yang beredar di kalangan bangsa Arab pada masa Jahiliah adalah emas dan perak, tidak ada yang lain, yang datang dari berbagai kerajaan. Dinar emas Kaisar berasal dari Romawi. Sedangkan menurut maqrizi, dirham perak terdiri atas dua macam, Sauda’ Wafiyah dan Thabariyah ‘Utuq”.
Dirham yang beredar pada saat itu sebenarnya terdiri atas beberapa macam, karena timbangan dirham-dirham itu tidak sama antara satu dengan yang lain. Hanya saja, dirham yang paling terkenal ada dua macam, Dirham Baghli (oleh al-Maqrizi disebut dengan Sauda’ Wafiyah) yang timbangannya adalah 8 (delapan) Daniq dan Dirham Thabari (oleh al-Maqrizi disebut dengan Thabariyah ‘Utuq) yang timbangannya 4 (empat) Daniq. Sedangkan dinar atau mitsqal adalah satuan timbangan yang mereka gunakan untuk menimbang emas.
Timbangan mitsqal di kalangan bangsa Arab menurut Al-Qaradhawi (1977, 240) hanya ada satu macam, tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain, yaitu sama dengan 1,7 dirham.
Dalam melakukan transaksi orang Arab pada masa Jahiliyah menggunakan beberapa macam timbangan yang berlaku di samping Dirham Baghli dan Dirham Thabari; antara lain Rithl (sama dengan 12 Uqiyah), Uqiyah (sama dengan 40 Dirham), Nishsh atau Nasysy (sama dengan setengah Uqiyah, yaitu 20 Dirham), Nuwah (sama dengan 5 Dirham), Daniq (sama dengan seperenam Dirham atau delapan seperlima butir [habbah] kacang sya’ir sedang), Qirath (sama dengan setengah Daniq), dan Habbah (berbobot satu butir kacang sya’ir sedang).
Sebagaimana disinggung di atas, masyarakat Arab pada masa itu dalam menggunakan uang-uang yang ada, baik dinar emas maupun dirham perak, didasarkan pada timbangannya, bukan pada bilangannya, karena uang-uang tersebut tidak sama timbangannya. Atau lebih tepatnya, mereka tidak membeda-bedakan antara (uang) yang sudah dicetak (madhrub), yang sudah dicap (masbuk) dengan yang masih berupa butiran (tibr). Semua bentuk itu mereka gunakan sebagai uang atas dasar bahwa ia adalah emas atau perak, dan tidak mengharuskan telah dibuat dalam bentuk khusus sebagai uang (resmi).
Ketika Islam datang, kegiatan dan sistem transaksi ekonomi yang sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat dengan menggunakan uang-uang yang sudah beredar diakui oleh Nabi SAW. Beliau mengakui uang-uang itu sebagai uang yang sah. Demikian juga, sistem pertukaran barter dan pertukaran dengan barang komoditas tertentu yang diperlakukan sebagai uang (nuqud sil’iyah) seperti gandum, kacang sya’ir dan kurma dibiarkannya sebagaimana sudah berjalan. Sikap Nabi tersebut tercermin dalam hadits Nabi SAW; antara lain:
“(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam yang (dilakukan antara) satu jenis (disyaratkan harus) sama (beratnya, dan dengan cara) tangan ke tangan. Apabila (yang diperjualbelikan itu) berbeda jenis, lakukanlah jual beli itu sekehendakmu apabila dengan cara tangan ke tangan” (HR. Muslim dari ‘Ubadah bin al-Shamit).
Dari keterangan di atas nampak bahwa uang yang digunakan oleh umat Islam pada masa Nabi adalah Dirham Perak Persia dan Dinar Emas Romawi dalam bentuk aslinya, tanpa mengalami pengubahan atau pemberian tanda tertentu. Menurut Ibnul Qayyim (dalam I’lamul Muwaqqi’in Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, vol.2/hal144), Nabi pun tidak pernah membuat uang khusus untuk umat Islam. Dengan kata lain, pada masa itu, belum ada apa yang disebut dengan “uang Islam”. Uang Islam atau disebut juga dengan Dinar Islam baru dibuat pada masa berikutnya.
Menurut para sejarawan, orang yang pertama kali menerbitkan Dirham dan Dinar untuk diberlakukan di negara Islam adalah Khalifah Bani Umayah Abdul Malik bin Marwan pada tahun 74 H. Sebelum tahun itu, tidak pernah didapatkan baik dalam buku-buku sunnah (hadits) maupun dalam sejarah Nabi (sirah nabawiyah) keterangan tentang Dinar Islam.
Kebijakan Nabi saw untuk tidak menerbitkan mata uang tertentu, selain karena kesibukannya dalam melakukan dakwah dan jihad, nampaknya merupakan siyasah syar’iah (politik hukum Islam). Sebab, seandainya Nabi memerintahkan agar mata uang yang sudah ada (beredar) sebelum berdiri negara Islam tidak dipakai dan menggantinya dengan mata uang Islam, tentu mata uang Islam tersebut tidak akan diterima oleh masyarakat di luar wilayah Islam; dan hal itu akan menyebabkan umat Islam mengalami kesulitan. Orang yang pergi ke Syria atau ke Yaman, misalnya, tidak bisa mempertukarkan mata uang Islam tersebut dan boleh jadi tidak ada orang yang mau melakukan transaksi menggunakannya.
Sungguhpun Nabi tidak pernah membuat uang tertentu untuk umat Islam, mengingat beliau mengakui dan memberlakukan mata uang emas dan perak yang berlaku di tengah-tengah bangsa Arab, sebagaimana dikemukakan di atas, sebagian besar ulama berpendapat bahwa emas dan perak adalah mata uang Islami (naqd syar’i) bagi negara Islam, dan mata uang emas dan perak tersebut adalah nilai atau harga (tsaman) suatu barang. Bahkan pada masa lalu, bila disebutkan kata nuqud (jamak dari naqd, yakni mata uang) atau atsman (jamak dari tsaman, yakni nilai atau harga) maka yang dimaksudkan adalah emas dan perak, sekalipun belum dicetak.
Pada masa Khalifah Abu Bakar, uang yang berlaku pada masa Nabi tetap diberlakukan sebagaimana adanya, tanpa mengalami pengubahan. Hal ini karena perhatian Khalifah terfokus pada penataan sendi-sendi pemerintahan dan memerangi orang murtad yang merupakan prioritas utama, di samping juga karena masa pemerintahannya yang sangat singkat.
Khalifah Umar pun pada masa-masa awal pemerintahannya tetap memberlakukan sistem yang telah berjalan pada masa Abu Bakar. Barulah pada tahun 18 Hijriyah atau tahun keenam dari pemerintahannya, ia mulai memasukkan beberapa kata Arab pada uang Persia dan Romawi yang beredar. Ia membubuhkan namanya pada beberapa dirham dan menuliskan beberapa kata Islami, seperti “Bismillah”, “Al-Hamdu lillah”, “Bismi Rabbi”, Muhammad Rasulullah” dan kata-kata serupa lainnya yang menunjukkan simbol Islam.
Namun demikian, bentuk uang tersebut masih tetap sama dengan bentuk aslinya sebagai uang asing yang memuat simbol-simbol non Islam. Sebelum itu, Umar pernah berfikir untuk membuat dirham dari kulit unta, namun ketika rencana itu disampaikan, ada pihak yang memberi masukan bahwa jika rencana tersebut dilaksanakan, tentu unta akan habis, dan akhirnya Umar batal melaksanakan rencananya. Apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar tersebut merupakan langkah pertama dalam rangka pembuatan uang khusus bagi negara Islam (daulah Islamiyah).
Pada masa Khalifah Utsman dan ‘Ali, kebijakan pembuatan uang masih sama dengan apa yang telah dirintis oleh Umar r.a. Lebih dari itu, Utsman membubuhkan kata “Allahu Akbar” pada uang yang berlaku.
Ketika pemerintahan Bani Umaiyah berdiri, pembuatan uang masih tetap mengikuti jejak para penduhulunya, yaitu memberlakukan mata uang Sasani dan Byzantin dengan membubuhi beberapa simbol Islam, seperti nama khalifah, dan membiarkan simbol non Islam pada uang tersebut. Pada masa-masa awal pemerintahan ini pembuatan uang bukan merupakan otoritas pihak tertentu dalam pemerintahan.
Selain khalifah, para gubernur dan pimpinan di daerah-daerah pun membuat uang khusus bagi wilayah masing-masing. Abdul Malik bin Marwan pada tahun 74 dan 75 H. membuat dinar emas dalam jumlah terbatas; dan ia dipandang sebagai khalifah pertama yang membuat dinar emas; Al-Hajjaj pada akhir tahun 75 H. membuat dirham sendiri, Dirham Baghli; Abdullah bin Zubair pun melakukan hal yang sama, membuat dirham sendiri dan membubuhkan namanya (Abdullah Amir al-Mu’minin); demikian pula, saudaranya Mush’ab bin Zubair ketika menjadi gubernur Irak membuat dirham khusus (Lihat, Ibnu Khaldun, 463 dan al-Maqrizi,16-19)
Melihat kenyataan seperti itu Abdul Malik bin Marwan melakukan upaya unifikasi mata uang di seluruh wilayah setelah sebelumnya setiap gubernur membuat uang khusus untuk masing-masing. Selain itu, ia pun membuat kebijakan untuk tidak menggunakan mata uang non Islami dan memerintahkan pembuatan uang Islami oleh institusi pemerintah. Pada tahun 76 H. proyek pembuatan uang khusus Islami yang bersih dari unsur dan simbol-simbol asing mulai dilakukan. Sejak saat itu, untuk pertama kali negara dan pemerintah terlepas dari uang asing. Abdul Malik membuat Dirham perak Islami yang pada salah satu sisinya dituliskan surah al-Ikhlas dan pada sisi lainnya dituliskan simbol tauhid; beratnya adalah 6 (enam) Daniq; demikian juga ia membuat dinar perak Islami yang timbangannya adalah satu mitsqal.
Dengan kebijakan tersebut umat Islam telah memiliki uang tersendiri, yaitu uang yang dibubuhi tulisan-tulisan Islami, dan meninggalkan mata uang asing, Dinar Byzantin dan Dirham Persia yang selama ini dipakai. Kebijakan pembuatan uang Islami seperti itu dilanjutkan oleh pemerintah-pemerintah Islam sesudahnya walaupun terdapat perbedaan-perbedaan antara yang satu dengan yang lain dari sisi kualitas bahan, timbangan, bentuk, dan tulisan yang dibubuhkannya. Kondisi demikian terus berlangsung hingga wilayah-wilayah terlepas dari Daulah Utsmaniyah dan menjadi wilayah kekuasaan koloni. Pada saat itu mulailah uang kertas berlaku di hampir semua wilayah Islam.
Uraian di atas menunjukkan bahwa uang yang pernah berlaku di wilayah Islam tidak hanya berupa emas dan perak. Sejarah mencatat bahwa selain uang emas dan perak murni berlaku pula jenis uang lain, antara lain uang emas dan perak campuran (nuqud maghsyusyah), fulus, dan uang kertas.
Nuqud maghsyusyah adalah mata uang emas atau perak yang dicampur dengan logam kualitas rendah, seperti uang emas yang dicampur dengan tembaga atau perak, dan uang perak yang dicampur dengan tembaga. Umat Islam menyebut uang emas dan perak murni dengan “Jiyad” (berkualitas baik) dan uang emas dan perak tidak murni dengan “Maghsyusyah” (campuran). Uang campuran ini terdiri atas tiga macam, Zuyuf, Nabharajah, dan Satuqah. Zuyuf adalah sebutan untuk uang emas dan perak yang sedikit kadar campurannya; Nabharajah adalah sebutan untuk uang emas dan perak yang lebih dominan kadar campurannya, namun terkadang juga digunakan untuk menyebut uang yang tidak dibuat di tempat atau institusi resmi; sedang Satuqah adalah sebutan untuk uang yang bahan utamanya terdiri dari tembaga namun dicampur sedikit perak. (lihat; Ibn ‘Abidin, vol. 5/ 246; dan al-Fairuzabadi, vol 3/154).
Uang campuran tersebut pada mulanya hanya beredar secara terbatas, kemudian beredar secara luas terutama setelah Khalifah al-Mutawakkil memberlakukannya secara resmi. Namun demikian, mata uang emas dan perak murni tetap berlaku sebagai mata uang resmi dan paling banyak beredar. Selanjutnya, sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keterbatasan persediaan emas dan perak, umat Islam sedikit demi sedikit meninggalkan emas dan perak, beralih menggunakan uang campuran, dan akhirnya menggunakan fulus.
Masyarakat Arab pada masa Jahiliah sebenarnya telah menggunakan uang fulus tembaga dari Byzantin, walaupun dalam jumlah sangat terbatas. Ketika Islam datang, umat Islam pun tetap menggunakannya dalam jumlah terbatas. Bahkan menurut sejarah, Umar bin Khathab adalah khalifah pertama yang membuat fulus khas Arab pada tahun 18 H. yang sama bentuknya dengan fulus Byzantin, namun dibubuhi nama Umar.
Bukti yang menunjukkan bahwa fulus telah ada dan berlaku di negara Islam pada masa awal adalah fatwa-fatwa sebagian ulama tabi’in (generasi sesudah sahabat) tentang fulus ketika membicarakan masalah-masalah fiqih. Ibrahim al-Nakha’i (w. 96 H.) memberikan fatwa tentang kebolehan melakukan akad salam dengan fulus. Mujahid (w. 102 H) memberikan fatwa bahwa pertukaran satu fulus dengan dua fulus adalah boleh jika dilakukan dari tangan ke tangan. Demikian juga al-Zuhri (w. 124) memberikan fatwa bahwa syarat-syarat sharf (jual beli atau pertukaran uang emas dan perak) berlaku pula pada pertukaran fulus.
Pada masa itu keberadaan uang fulus hanya merupakan uang penunjang yang digunakan untuk melakukan transaksi dalam nilai sedikit, dan bukan merupakan uang utama. Uang emas dan peraklah yang menjadi uang utama di negara Islam. Pada waktu-waktu berikutnya di negara Islam transaksi banyak dilakukan dengan fulus; sehingga fulus menjadi uang yang banyak beredar. Pada abad ketujuh Hijriyah jumlah fulus yang beredar di masyarakat semakin banyak dan menjadi uang yang dominan. Bahkan, pada masa kekuasaan Mamluk dan pada abad ketujuh dan kedelapan Hijriyah, fulus menjadi uang utama (resmi) negara. Gaji pegawai dan pembayaran jasa ditetapkan dan dihitung berdasarkan fulus. Dengan demikian, fulus berubah status dari uang penunjang menjadi uang utama.
Sultan al-Dzahir Burquq (Sultan Utsmani, w. 801) pada tahun 781 H. telah membatalkan penggunaan uang perak campuran yang dibuat oleh Sultan al-Dzahir Baibras dan menggantinya dengan fulus tembaga. Bahkan para sultan sangat berlebihan dalam membuat fulus sehingga fulus-fulus itu dijual dengan timbangan Rithl dan tidak memiliki nilai. Akhirnya masyarakat hilang kepercayaan terhadap fulus. Hal tersebut berakibat sangat fatal berupa kehancuran nilai uang.
Mengenai uang kertas sebagaimana dikenal fiat money saat ini dalam bentuk banknote apakah pernah dikenal dan digunakan di negara-negara Islam (pada masa lampau), para ahli berbeda pendapat. Sebagian memastikan bahwa negara Islam tidak pernah menggunakannya, sementara sebagian ahli lain berpendapat bahwa umat Islam telah pernah menggunakannya pada beberapa periode. Kedua belah pihak tersebut mengemukakan argumen untuk mendukung pendapatnya. Wallahu A’lam.