Masa Pluralisme
dan Liberal RA Kartini
RA (Raden
Ajeng) Kartini di masa-masa kedekatannya dengan imperialis Eropa termasuk
Belanda adalah sosok yang tak mendukung Islam bahkan terkesan anti-Islam. Meski
beragama Islam namun di beberapa kesempatan putri dari RM Adipati Ario
Sosroningrat itu tak mengakui ajaran Islam.
”Agama yang
sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani,
maupun Islam, dan lain-lain.” (Surat RA Kartini kepada Ny Rosa Abendanon
tertanggal 31 Januari 1903).
”Kalau orang
mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka Tuhan
yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen
maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain.” (Surat RA Kartini
kepada E.C Abendanon, tertanggal 31 Januari 1903).
Tak hanya
memuji keyakinan lain, RA Kartini juga diketahui mengkritik keras ajaran Islam
:
“Mengenai
agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya
mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam
karena nenek moyangku Islam.
Bagaimana aku
dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh
memahaminya? Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam
bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang
mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa
yang dibaca.
Aku pikir,
adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama
halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi
artinya.
Aku pikir,
tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah
begitu Stella?," (Surat RA Kartini kepada Stella Zihandelaar
bertanggal 6 November 1899).
Tak puas dengan
uneg-uneg hatinya, RA Kartini kembali menulis surat kepada sahabatnya, tapi
kali ini untuk Rosa Manuela Abendanon yang berisi sindiran terhadap Islam :
“Dan waktu
itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan
manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal
perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.
Jangan-jangan,
guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku
akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini terlalu suci, sehingga kami
tidak boleh mengerti apa artinya,” (Surat RA
Kartini untuk Ny Rosa Manuela Abendanon, tertanggal 15 Agustus 1902).
Siapapun tahu
jika RA Kartini saat itu adalah figur wanita pribumi Jawa namun memiliki
ideologi liberalis dan pluralis. Kolega dan sahabat-sahabat Eropanya yang
menanamkan ideologi tersebut ke kehidupan RA Kartini, yang pada akhirnya
mempengaruhi jiwanya serta mendukungnya melakukan perubahan dengan upaya
propaganda liberalisme dalam lingkungan budaya Jawa.
Namun kolega
dan sahabat Eropanya mulai terhenyak dengan manuver sikap RA Kartini yang mulai
unjuk perubahan.
Hidayah Allah
Rubah RA Kartini Dari Liberal Pluralis Ke Islam Sejati
Hidayah akan
datang kepada sesiapa yang dikehendaki Allah. Dan di luar dugaan, hidayah Allah
yang lembut itu terlanjur telah merasuki jiwa dan kalbu RA kartini.
Berkat Kyai
Sholeh yang telah menuntun RA Kartini menuju reformasi spiritual. Relijius dan
pandangan RA Kartini yang semula memuja kebudayaan barat pun mulai berubah
bahkan RA Kartini secara berani mengkritik keras kebudayaan barat.
Kritikan pedas
RA Kartini tertuang dalam lanjutan surat-suratnya kepada Ny Rosa Abendanon :
“Sudah lewat
masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik,
tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna?
Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat
banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.
Tidak
sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah
Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan," (Surat
RA Kartini kepada Ny Rosa Abendanon, tertanggal 27 Oktober 1902).
RA Kartini juga
menyatakan penyesalannya atas pemikiran-pemikiran liberal dan pluralismenya
yang sering ia propagandakan selama ini kepada wanita pribumi.
“Astaghfirullah,
alangkah jauhnya saya menyimpang” (Surat RA Kartini kepada Ny. Rosa
Abendanon, tertanggal 5 Maret 1902).
Untuk menebus
segala kesalahannya, RA Kartini siap memperbaiki nama baik Islam yang telah
dikotori oleh berbagai fitnah termasuk dari sejumlah kolega dan
sahabat-sahabatnya. RA Kartini akan melakukannya meski ia harus mempertaruhkan
nyawa sekalipun.
"Saya
bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi
sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain
memandang Islam sebagai agama disukai” (Surat RA Kartini kepada Ny
Van Kol, tanggal 21 Juli 1902).
Di suratnya
yang lain RA Kartini juga merasa tak bangga menggunakan gelar Raden Ajeng di
depan namanya. Karena gelar dambaannya saat itu juga telah ikut berubah.
"Ingin
benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah,” (Surat
RA Kartini untuk Ny Rosa Abendanon, tertanggal 1 Agustus 1903).